Siang itu sepi sekali. Maya duduk di teras ditemani si Manis, kucing kesayangannya. Baru dua hari yang lalu, Maya beserta keluarganya pindah ke rumah itu. Pekerjaan ayahnya menyebabkan mereka sekeluarga meninggalkan kediaman yang lama.
“Manis, di sini sangat tidak menyenangkan. Aku merasa kesepian, tak punya teman. Aku ingin teman-temanku di sana,” keluh Maya sambil mengelus-elus kepala si Manis. Si Manis hanya diam. Ia terkantuk-kantuk di pangkuan Maya. Tiba-tiba Maya dikejutkan oleh suara dari arah pintu pagar. “Halo, tetangga baru, boleh kenalan tidak?” tanya seorang anak perempuan bertubuh tambun sebaya Maya. Bajunya bermotif kotak-kotak. Rambutnya yang panjang dikepang dua dan memakai pita rambut yang sesuai dengan warna bajunya.
“Siapa kamu?” balas Maya ketus. “Ha..ha..ha..jangan marah dulu dong. Aku tidak bermaksud jahat kok. Aku hanya ingin berkenalan denganmu. Tapi sebelumnya, boleh tidak aku masuk?” tanyanya penuh harap.
Agak lama Maya berpikir. Dia teringat pesan kedua orangtuanya untuk tidak membukakan pintu bagi orang yang tak dikenal. “Ha..ha..kamu takut ya sama aku? Aku tidak mencakar seperti kucingmu itu kok, aku ini anak baik-baik lho. Jarang ada anak sebaik aku,” katanya setengah bercanda. Maya mengernyitkan dahinya. “Siapa nama kamu?” tanya Maya memberanikan diri.
“Sebentar, sebentar. Seharusnya kamu dong sebagai tetangga baru yang harus mengenalkan diri terlebih dahulu,” kata anak perempuan itu. “Namamu Maya Putri Andhani, biasa dipanggil Maya. Betul tidak? Kamu baru datang dua hari yang lalu dari Yogyakarta. Ayahmu, Pak Budi adalah seorang pengusaha. Dan Bu Nani, Ibumu, dulunya guru Taman Kanak-Kanak di Yogyakarta. Kamu anak tunggal, duduk di kelas empat, dan sudah didaftarkan di SD Kasih, sekolah yang sama denganku. Kucingmu namanya si Manis. Dan hari ini kamu tidak masuk ke sekolah, karena ijin. Padahal aku lihat kamu tidak ke mana-mana hari ini,” celoteh anak perempuan itu.
Maya hanya termangu-mangu bingung. “Bagaimana dia bisa tahu tentang aku dan keluargaku? Memangnya dia peramal?” katanya dalam hati. “Hai..jangan diam saja dong. Ayo bicara. Aku kan tidak bicara dengan patung!” kata anak itu lagi.
“O..eh..apa..iya..nggak..bukan,” jawab Maya gagap.
“Ha..ha..ha,” anak perempuan itu tertawa.
“Tapi ngomong-ngomong kok kamu tahu tentang aku dan keluargaku?” tanya Maya penasaran.
Anak itu tersenyum simpul. Sambil meraih si Manis dari gendongan Maya, dia menjawab. “Kemarin orangtuamu ke rumahku. Itu lho rumah bercat putih yang kelihatan dari sini. Nah, mereka berkenalan dengan kami sekeluarga sekaligus bercerita tentang dirimu,” kata anak itu lagi.
Maya mengangguk-angguk. Memang kedua orangtuanya kemarin telah bersilaturahmi dengan beberapa tetangga sekitar rumah. Maya sendiri malas ikut, karena enggan berkenalan dengan teman baru. Maya hanya ingin kembali bersama teman-temannya yang lama. Maya pun merajuk tak mau ke sekolah hari ini. Untung kedua orangtuanya mau mengerti.
“Namaku Ardina Sukmanti. Teman-teman biasa memanggilku Sukma, tapi kadang ada yang memanggilku Ndut atau gendut. Sesuai dengan badanku yang gemuk ini! Ha..ha.. Aku juga kelas empat, sama dengan kamu,” Sukma menjelaskan. “Kamu nggak marah, dipanggil seperti itu?” tanya Maya.
“Nggak! Aku malah senang, karena itu tandanya aku selalu diingat dan disayang oleh semua orang,” jawab Sukma. “Kenapa kamu tadi tidak ke sekolah?” lanjut Sukma. “Mmm..sebenarnya…,” ragu-ragu Maya berkata. “Sebenarnya aku ingin berkumpul kembali dengan teman-temanku yang lama. Terutama dengan sahabatku Asri dan Mona. Tapi mereka jauh. Sementara aku di sini sendirian tak ada teman,” ujar Maya.
“Hei, tunggu dulu. Kamu tidak sendirian di sini. Sore nanti coba deh keliling kompleks, pasti banyak teman-teman sebaya kita. Biasanya kita berkumpul dan bermain di lapangan ujung kompleks ini. Kamu tahu kan?” tanya Sukma.
“Iya, aku tahu. Kemarin aku melewatinya,” Maya menganggukan kepala.
“Kalau begitu, sekitar pukul setengah empat nanti sore aku jemput kamu. Kita ke sana. Nanti kuperkenalkan dengan teman-teman lain. Sekarang aku pulang dulu ya,” kata Sukma lalu pulang sambil bersenandung.
Sore harinya Sukma datang menjemput, “Selamat sore Tante, saya mau mengajak Maya ke lapangan depan di ujung kompleks. Boleh kan?”
“Boleh..boleh, biar Maya bisa berkenalan dengan teman-teman di sini,” jawab Mamanya Maya. “Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang,” ajak Sukma.
Setelah berpamitan, mereka pun berjalan beriringan menuju lapangan. Sesampainya di sana, telah banyak anak-anak yang bermain maupun duduk-duduk di bawah pohon rindang. Sukma mengenalkan Maya pada semua anak yang ada di situ. Pada mulanya Maya malu-malu berbicara. Tapi akhirnya dia bisa mengobrol dengan teman-teman barunya.
Ketika mereka pulang, wajah Maya terlihat bersinar-sinar gembira. “Tuh kan, tidak rugi kalau kamu bergaul sedikit. Jangan ngumpet saja di rumah,” goda Sukma. “Ya, kamu benar. Ternyata di sini banyak teman yang mau berkenalan denganku. Aku telah salah sangka. Aku pikir anak-anak di kompleks ini sombong, dan aku akan sulit mencari teman,” kata Maya bersungguh-sungguh. Dalam hati dia berjanji tidak akan buru-buru menyimpulkan sesuatu yang belum pasti.