Banu, seorang anak laki-laki periang. Ia lincah dan tidak bisa diam. Sayangnya, ia memiliki kebiasaan buruk. Setiap pulang sekolah, selalu malas mengganti pakaian seragamnya. “Aku ganti pakaiannya sehabis main saja, Bu!” ucap Banu jika Ibunya menyuruh berganti pakaian. Melihat anaknya langsung lari begitu saja, Ibu hanya menggelengkan kepala.
Sore itu, Banu pulang ke rumah dengan pakaian seragam batik dipenuhi lumpur, basah, dan dekil. “Banu, kenapa seragam batik kamu jadi berubah warna lumpur begini?” geram Ibu kepada Banu.
“Aku tadi sama teman-teman main lari-larian. Lalu aku tergelincir ke kubangan lumpur, Bu,” ujar Banu. “Aduh, Banu, kamu ini bagaimana sih, mesin cuci kita kan sedang rusak. Bibi juga lagi pulang kampung. Ibu belum sempat mencuci pakaian, malah kamu tambahin kerjaan lagi,” kata Ibu kesal.
“Ibu tenang aja, baju batik kan dipakai seminggu sekali, jadi kalau besok belum dicuci, nggak apa-apa,” ucap Banu seenaknya. “Kalau begitu, Ibu nggak mau mencuci baju batik kamu ya. Kamu yang cuci sendiri!” kata Ibu geram. “Ibu mau pergi dulu. Kamu jaga rumah baik-baik,” kata Ibu lagi.
Banu segera merendam baju batiknya dengan deterjen. Sambil menunggu sabunnya meresap, ia pergi ke ruang keluarga untuk menonton televisi. Beberapa menit kemudian, Banu sudah terlelap tidur.
Melihat kondisi rumah yang gelap gulita ketika pulang, Ibu sudah menduga kalau anak lelakinya itu pasti ketiduran. “Banu, ayo bangun, Nak. PR kamu sudah dikerjakan belum?” tanya Ibu. “Nggak ada PR, Bu,” jawab Banu mengantuk. “Aku mau lanjut tidur lagi,” kata Banu sambil mematikan televisi dan pergi ke kamarnya.
Keesokan harinya, Banu bangun pagi lalu mandi, memakai seragam, dan menyiapkan buku pelajaran sesuai jadwal hari itu. Ia kemudian menuju ruang makan untuk sarapan. Disana sudah ada Ayah dan Adiknya, Dipo yang juga sedang sarapan.
“Banu, rendaman baju di ember itu punya kamu ya?” tanya Ayah. “Iya Yah, itu baju batik aku, lupa kucuci,” jawab Banu. “Lho, Ibu kira bajunya sudah kamu cuci,” sahut Ibu dari balik pintu. “Banu, kamu kok jorok sekali sih, baju sampai direndam semalaman! Janji ya, pulang sekolah langsung kamu cuci bajunya,” kata Ayah. Banu hanya mengangguk karena mulutnya penuh dengan makanan.
“Banu..Banu..!” terdengar suara teman-teman Banu memanggil dari luar rumah. Edo, Rizki, dan Adit selalu menghampiri Banu untuk berangkat sekolah bersama-sama.
“Ayo Banu, makannya dipercepat, teman kamu sudah jemput tuh,” perintah Ibu. Banu segera melahap roti sandwich telur dadar, kemudian berpamitan dengan Ayah dan Ibu.
Teman-teman Banu sudah menunggu di teras. “Lho, kok kalian semua memakai baju batik?” tanya Banu heran. “Kamu lupa ya, Nu. Hari ini kan sekolah kita mau masuk televisi. Makanya kita diminta menggunakan baju batik,” ungkap Edo. “Ya udah, Nu, cepat gih ganti pakaian, udah siang nih nanti kita telat,” ujar Adit.
“Baju batikku masih direndam, belum kucuci,” ujar Banu tertunduk lesu. “Yah Banu, kan kemarin sudah diingatkan sama Ibu Guru,” ucap Edo. “Sepertinya aku masih menyimpan seragam batik lamaku deh. Kamu mau pinjam nggak? Tapi warnanya sudah agak pudar,” kata Edo. “Beneran, Do?” ujar Banu kembali ceria. “Iya, ya udah sekarang kita ke rumahku dulu ya!” ajak Edo.
Sepulang sekolah, Banu ingat akan janjinya kepada Ibu untuk mencuci seragam batiknya. Ia sudah membayangkan, pasti rendaman sabun di ember akan membuat bajunya menjadi bau. Tapi Banu sadar, semua ini salahnya yang selalu malas berganti seragam sepulang sekolah.
“Ibu, Banu pulang!” ucap Banu. “Banu, kamu pakai baju batiknya siapa?” tanya Ibu keheranan. “Bajunya Edo, Bu. Sebenarnya hari ini Ibu Guru menyuruh kita untuk memakai seragam batik, tapi baju batikku kan belum dicuci, untung Edo masih menyimpan seragam batik lamanya,” jelas Banu. “Ya sudah kalau gitu, cepat ganti seragamnya ya, jangan sampai bajunya Edo kamu buat kotor,” ujar Ibu. “Iya, Bu, sekalian aku mau mencuci rendaman seragam batikku,” kata Banu. “Sudah Ibu cuci tuh seragam kamu!” ucap Ibu.
“Hah, yang bener, Bu?” kata Banu. “Terima kasih ya, Bu!” ucap Banu lalu mencium kening Ibunya dan berjanji tidak akan mengulangi kebiasaan buruknya itu.
Cerita: JFK Ilustrasi: JFK