“Rissa, jangan lupa nanti jam 4 sore ada latihan untuk pementasan, ya. Jangan sampai telat, lho,” ujar Feni seraya berlalu. Rissa hanya mengacungkan jempolnya sambil tersenyum.
Rissa tergabung dalam grup balet di sekolahnya. Ia memang sudah pandai menari balet sejak usia 4 tahun, karena Ibu memasukkannya ke sanggar balet sejak usia 3 tahun. Hingga memasuki usia 10 tahun, ia tetap rajin berlatih, karena itulah satu-satunya hal yang dapat mengobati rasa rindunya kepada sang Ibu.
Tepat pukul 4, Rissa sudah berada di studio tempatnya berlatih. Di dalam, baru ada Feni dan Miss Malia, sang pelatih, yang sedang melakukan pemanasan sambil berbincang. “Hai,” sapa Rissa. “Eh, Rissa sudah datang. Kita pemanasan dulu, yuk, sebelum yang lain datang,” ajak Miss Malia. “Siap, Miss,” jawab Rissa sambil bersiap-siap mengenakan sepatu balet kesayangannya.
Ketika hendak mengikat pita di kakinya, Rissa melihat ternyata sepatu balet pemberian Ibunya setahun lalu, sudah mulai usang. Seketika, ia teringat betapa bahagia dirinya ketika menerima sepatu tersebut usai pementasan. Ternyata, itu adalah pementasan terakhir Rissa yang ditonton Ibunya, karena 3 bulan lalu, sang Ibu kembali kepada Sang Pencipta.
“Rissa, ayo, pemanasan. Kok, malah bengong?” sergah Feni. Rissa pun tersadar dari lamunan, dan ternyata 3 orang temannya yang lain sudah datang dan siap untuk latihan. Ia buru-buru mengikat pita sepatunya dan bergabung.
Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, sesi latihan hari itu pun berakhir. Setelah berpamitan pada Miss Malia, Rissa segera menuju gerbang karena Ayah sudah menjemputnya. “Bagaimana latihan hari ini, Nak?” tanya Ayah. “Seru,” jawab Rissa singkat. Di perjalanan, Rissa tertidur karena kelelahan setelah berlatih. Sepatu balet yang ia pegangi, kini tergeletak di pangkuannya. Ayah pun melihat sepatu balet yang kini memiliki lubang di ujungnya itu.
Esoknya, seperti biasa, Rissa sarapan sebelum berangkat sekolah. “Kapan pementasan baletmu, Sa?” tanya Ayah sambil mengolesi roti dengan selai kacang. “Hmm, 2 minggu lagi, Yah. Ayah mau nonton?” tanyanya balik. “Pasti, dong!” Ayah menjawab dengan penuh keyakinan.
Sehari sebelum pementasan, Rissa dan kawan-kawan memantapkan gerakan yang telah berhari-hari dilatih. Menurut Miss Malia, semua sudah sempurna dan mereka siap untuk pentas besok. Seperti biasa, setelah selesai berlatih, Ayah menjemput Rissa di sekolah.
Rissa segera masuk ke mobil, dan memasang sabuk pengamannya. Namun, bukannya langsung tancap gas, Ayah malah mengambil bungkusan warna pink dengan hiasan pita senada dari jok belakang. “Ayah punya ini untuk Rissa,” tutur Ayah sambil menyerahkan kotak tersebut.
Rissa agak terkejut dengan hadiah yang diterima, karena tak biasanya ia mendapat kado selain di hari ulang tahunnya. Ia segera membuka kotak tersebut, dan ternyata, isinya adalah sepatu balet baru yang persis sama dengan miliknya saat ini.
Rissa terdiam sejenak. “Terima kasih, Ayah. Sepatu baletku memang sudah mulai rusak. Tapi, untuk pementasan besok, aku masih mau pakai sepatu ini, karena ini sepatu balet terakhir yang Ibu berikan,” ucap Rissa dengan mata berkaca-kaca. “Iya, Nak. Ayah paham. Ibu pasti lihat pementasanmu besok dari surga. Jadi, berikan penampilan terbaikmu, ya,” tandas Ayah sambil menghapus air mata Rissa dan mengecup keningnya. (Cerita: Nindy/Ares/Ilustrasi: Putri)