Sore itu, ibu berteriak-teriak memanggilku, “Jokooo, pulang mandi!” Segera kutinggalkan lapangan. Itulah tempat bermainku dengan teman-teman. Tidak luas sih, tapi cukuplah bagi kami bermain kejar-kejaran sampai badan dan baju basah berkeringat.
Tak ingin ibu memanggilku untuk kedua kalinya, aku berlari menuju rumah. Waktu sholat Maghrib telah tiba. Saat hendak mengambil air wudhu, kulihat wajah ibu yang letih. Mungkin cucian baju ibu sangat banyak hari ini. Kalau saja aku dapat membantunya. Sayang, tempat ibu bekerja jauh sekali. Ibu juga melarangku ke sana. “Joko kan masih kecil, Ibu malah khawatir kalau Joko nyusul Ibu ke sana. Yang penting Joko belajar yang rajin, sholat yang rajin, ngaji juga yang rajin. Janji ya sama Ibu?” ucap ibu suatu kali.
Yah, kalau ibu sudah bilang begitu, aku hanya bisa mengangguk. Tapi, dalam hati aku berjanji. Pada ibu dan diriku sendiri. Pasti aku akan rajin melakukan semuanya itu. Aku ingin ibu bangga dan bahagia melihat usahanya memasukkanku ke Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak sia-sia.
“Joko, ayo sholat dulu. Kok bengong?” tegur ibu lembut sambil tersenyum. Kubalas senyum ibu. Tak lama kemudian, aku dan ibu sholat Maghrib di Mushola yang letaknya agak jauh dari rumah.
Dalam sholatku, muncul keinginan melihat ibu bisa sholat di rumah beralaskan sebuah sajadah yang indah. Ibu kan sekarang tidak punya sajadah, pikirku. Memang, kalau hujan deras dan kami tidak bisa sholat di Mushola ini, ibu dan aku terpaksa menggunakan selembar kain putih kecil yang lebih tepat disebut sebagai sapu tangan sebagai ganti sajadah.
Ibu pernah punya sajadah. Tapi, untuk keperluan sekolahku, ibu menjual sajadah dan rukuhnya. Akhirnya, sebisa mungkin kami selalu sholat di Mushola atau Masjid sehingga ibu bisa meminjam rukuh yang disediakan di sana dan tak perlu khawatir dengan sajadah.
Nah, seminggu yang lalu, ibu diberi rukuh sama majikan tempat ibu biasa mencucikan baju. Ibu kelihatan senang sekali. Sekarang tinggal sajadahnya. Ah, aku ingin sekali melihat ibu sholat dengan rukuh dan sajadahnya sendiri. Kalau saja aku boleh ikut teman-teman yang lain menyemir sepatu atau mengamen di jalan. Tapi aneh juga sih, kalau mengamen, bagaimana caraku menyanyi? Aku kan tuna wicara. Semir sepatu juga butuh uang untuk membeli semirnya. Belum lagi kalau ketahuan ibu, aku bekerja di jalanan. Lalu, dari mana aku dapat uang untuk beli sajadah?
Usai sholat di Mushola, kami kembali ke rumah. Ku buka lemari pakaianku untuk mengganti sarung dengan celana panjang. Mataku tertuju pada selembar karung terigu warna putih yang sudah dicuci bersih, setumpuk pakaian warna-warni yang sudah tidak muat lagi, gunting, benang, dan jarum jahit. Sepertinya aku dapat ide!
Kira-kira dua bulan kemudian, ideku sudah selesai dilaksanakan. Pakaian kekecilan yang berwarna-warni, kuguntingi membentuk Masjid dan hiasan-hiasan lain. Lalu kujahit di atas karung terigu. Tak sabar rasanya menunggu ibu pulang sore ini.
Adzan Maghrib berkumandang ketika ibu pulang dan tersenyum melihatku menunggunya di depan pintu. Dan ketika sudah waktunya kami ke Mushola, aku berpamitan untuk pergi mendahului ke Mushola untuk sholat Maghrib sambil menitipkan sepucuk surat. Ibu yang bingung melihat tingkahku, hanya melongo. Ah, aku grogi nih, dag-dig-dug rasanya debaran jantungku. Aku ingin agar ibu lebih dulu membaca suratku sebelum membuka kejutan yang kusiapkan.
“Ibu, terima kasih, ya, sudah menyekolahkan Joko. Tapi, Joko sedih waktu Ibu harus menjual rukuh dan sajadah untuk bayar sekolah. Ibu, sekarang kan Ibu sudah punya rukuh, tapi belum punya sajadah. Joko ingin sekali lihat Ibu pakai sajadah. Tapi, Joko nggak punya uang untuk beli. Karena itu, Joko bikin sendiri. Semoga Ibu suka. Joko sayang deh sama Ibu.”
Dari balik pintu, ku lihat ibu terkejut membaca tulisanku. Aduh, ibu kok malah nangis ya? Aduh, memangnya tadi aku nulis apa, sih? Atau hasil karyaku jelek buat ibu? Ah, sudahlah, tunggu saja di sini, batinku.
Tak lama kemudian, ibu keluar dan mendapati aku yang berdiri di balik pintu. Ibu berlutut dan menciumiku sambil menangis sembari mengucapkan terima kasih berulang kali. Senangnya hatiku, tidak sia-sia kukorbankan waktu bermainku selama dua bulan ini. Hari ini, merupakan hari yang paling indah bagiku.
Cerita: JFK Ilustrasi: JFK