Pendapat IDAI Mengenai Rencana Transisi Pembelajaran Tatap Muka

Tahun 2021 sudah di ambang mata. Namun wabah COVID-19 masih juga belum berakhir di Indonesia. Selama pandemi, anak-anak Indonesia belajar dari rumah karena sekolah ditutup guna mencegah penyebarluasan Covid-19. Walau sulit, kegiatan belajar mengajar dari rumah ini sangat perlu diterapkan, mengingat saat ini jumlah kasus konfirmasi COVID-19 di Indonesia masih terus meningkat.

Untuk diketahui, satu dari sembilan kasus konfirmasi Covid-19 di Indonesia adalah anak usia 0-18 tahun. Data tanggal 29 November 2020 menunjukkan proporsi kematian anak akibat virus ini dibanding seluruh kasus kematian di Indonesia sebesar 3,2% dan merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik saat ini. Anak yang tidak bergejala atau bergejala ringan dapat menjadi sumber penularan kepada orang di sekitarnya.

“Kematian pada anak akibat Covid-19 terbesar terjadi di bawah usia 1 tahun, dilanjutkan dengan usia di bawah 5 tahun, lalu anak-anak usia 10 -18 tahun,” ungkap DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp. A(K), FAAP, FRCPI(Hon), Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada acara seminar media yang diselenggarakan oleh IDAI.

Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Nadiem Makarim telah mengizinkan pemerintah daerah untuk boleh membuka sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah mulai Januari 2021. Hal ini, sedikit banyak mengundang pro dan kontra. Ada yang setuju, ada pula yang tidak.

Ya, pembukaan sekolah untuk kegiatan belajar mengajar tatap muka mengandung risiko tinggi terjadinya lonjakan kasus COVID-19 karena anak masih berada dalam masa pembentukan berbagai perilaku hidup yang baik agar menjadi kebiasaan rutin di kemudian hari, termasuk dalam menerapkan perilaku hidup bersih sehat. Ketika protokol kesehatan dilanggar, baik sengaja maupun tidak, maka risiko penularan infeksi COVID-19 akan meningkat sangat tinggi.

PJJ Lebih Aman

Peningkatan jumlah kasus yang signifikan pasca pembukaan sekolah telah dilaporkan di banyak negara sekalipun negara maju (Korea Selatan, Prancis, Amerika, Israel) termasuk di Indonesia. Penundaan sekolah dikatakan dapat menurunkan transmisi. Semua warga sekolah, termasuk guru dan staf, dan juga masyarakat memiliki risiko yang sama untuk tertular dan menularkan COVID-19. Namun demikian, didapatkan berbagai laporan selama pandemi berlangsung tentang meningkatnya tingkat stres pada anak dan keluarga, perlakuan salah, pernikahan dini, ancaman putus sekolah, serta berbagai hal yang juga mengancam kesehatan dan kesejahteraan anak yang secara umum di alami di negara-negara berkembang. Hal ini juga membutuhkan perhatian dan penanganan khusus oleh seluruh pihak.

DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp. A(K), FAAP, FRCPI(Hon)

Untuk itu, terkait dalam rencana transisi pembelajaran tatap muka tersebut, IDAI memandang perlu mengungkapkan pendapatnya. Menimbang dan memperhatikan panduan dari World Health Organization (WHO), publikasi ilmiah, publikasi di media massa, dan data COVID-19 di Indonesia maka saat ini IDAI memandang bahwa pembelajaran melalui sistem jarak jauh (PJJ) lebih aman.

Meskipun begitu, jika pihak sekolah memutuskan memberlakukan lagi kegiatan pembelajaran tatap muka, maka harus bisa memenuhi standar protokol kesehatan secara baik.  “Kebijakan pembukaan sekolah di masing-masing daerah harus meminta pertimbangan dinas kesehatan dan organisasi profesi kesehatan setempat dengan memperhatikan apakah angka kejadian dan angka kematian COVID-19 di daerah tersebut masih meningkat atau tidak,” ujar DR. Aman.

Ia juga menegaskan bahwa perlu adanya mekanisme pemantauan pemenuhan standar protokol kesehatan. “Pihak sekolah perlu memiliki standar prosedur operasional apabila terdapat murid, guru, dan/atau staf yang sakit dan konfirmasi COVID-19,” katanya.

Yang Patut Dipertimbangkan Orangtua

Selain itu, bagi orangtua yang mempertimbangkan persetujuan kegiatan pembelajaran tatap muka dalam masa pandemi ini dapat mempertimbangkan hal berikut:

1.Sebaiknya tetap mendukung kegiatan belajar dari rumah, baik sebagian maupun sepenuhnya

2.Pertimbangkan apakah partisipasi anak dalam kegiatan tatap muka lebih bermanfaat atau justru meningkatkan risiko penularan dari hal-hal berikut:

– Apakah anak sudah mampu melaksanakan kebiasaan cuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak dengan memadai?
– Apakah anak masih sangat memerlukan pendampingan orangtua saat sekolah? Bila masih, maka sebaiknya anak masih di rumah dulu saja.
– Apakah anak memiliki kondisi komorbid yang dapat meningkatkan risiko sakit parah apabila tertular COVID-I9? Bila ada, sebaiknya anak belajar dari rumah.
– Adakah kelompok lanjut usia dan risiko tinggi di rumah yang mungkin tertular apabila banyak anggota keluarga yang beraktivitas di luar rumah?

3. Periksa apakah sekolah sudah memenuhi standar protokol kesehatan yang berlaku.
4. Apabila akan menyetujui partisipasi anak dalam kegiatan belajar tatap muka, persiapkan pula kebutuhan penunjangnya, seperti rencana transportasi, bekal
makanan dan air minum, masker, pembersih tangan, serta persiapan tindak lanjut apabila mendapat kabar dari sekolah bahwa anak sakit (di antaranya fasilitas kesehatan
yang akan dituju untuk perawatan selanjutnya, asuransi kesehatan, dll).
5. Ajarkan anak untuk mengenali tanda dan gejala awal sakit, serta untuk melapor kepada guru apabila diri sendiri atau teman sepertinya ada tanda dan gejala sakit.
6. Ajarkan anak untuk berganti baju, mandi, dan membersihkan perlengkapannya setiap pulang dari sekolah, sebagaimana orang dewasa yang beraktivitas di luar rumah.

Kebutuhan untuk membentuk perilaku sehat yang konsisten adalah suatu keniscayaan yang perlu ditanamkan sejak dini, agar menjadi kebiasaan rutin di kemudian hari. “Karena itu peran orangtua, keluarga, guru, serta lingkungan terdekat anak untuk mendidik dengan sabar dan konsisten sejak dini sangatlah penting. Semoga anak Indonesia selamat melewati pandemi ini,” tutup DR. Aman.

Foto: Efa, Freepik

You may also like
Latest Posts from Majalahjustforkids.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *