Semua orang di rumah Rega sudah tahu, Rega mudah sekali takut pada hal-hal sepele. Misalnya pada kecoa, atau pada kucing kecil tetangganya. Bahkan bila ada tamu tak dikenal melangkah masuk ke rumahnya, Rega terbirit-birit berlari mencari Mama sambil berteriak, “Mama, ada orang asing datang!” Jantungnya kemudian akan berdebar kencang, keringat dingin keluar.
Anehnya, kejadian demi kejadian terus berlanjut tanpa Rega bisa mengerti mengapa ia menjadi penakut. Adit, Adik bungsunya pun gemar mengejek dengan nyanyian, “Mas Rega penakut, Mas Rega penakut…”
Bagaimana dengan cerita-cerita horor, film hantu, vampir? Jangan ditanya! Rega tak berani sama sekali menontonnya. Padahal kata Pak Ustadz Heri, guru mengaji Rega, ”Bila kamu yakin akan keberadaan Tuhan Yang Maha Perkasa, semua rasa takut tentu tak akan mengusik hati kita. Hati kita tidak akan pernah gentar.”
“Betul lho Mas Rega. Sudah berkali-kali aku melihat hantu pohon nangka itu nongkrong di atas dahan yang berada di atas kamar Mas Rega,” cerita Adit suatu hari.
“Lha, mengapa si hantu tidak mengajakmu bermain?” ledek Rega.
“Hantu itu memang sering turun dari pohon nangka. Ia lalu mengelilingi rumah, dan dia sepertinya tidak suka jika rumah berantakan. Makanya kamar Mas Rega harus bersih. Gawat lho, kalau kena marah hantu!” ancam Adit. Rega tertawa geli mendengar cerita Adit.
Sore yang agak mendung, jam menunjukkan pukul 17.00. Hujan mulai turun rintik-rintik, menambah dingin suhu kamar Rega. Sesaat kemudian telepon di ruang tengah berdering, bergegas Rega mengangkatnya.
“Halo sayang, ini Mama. Mama dan Papa tidak bisa pulang sore ini. Nenekmu sekarang sedang dirawat di ruang gawat darurat,” kata Mama Rega.
Malam semakin larut, jam menunjukkan pukul 21.00. Mama Papa belum juga datang. Rega dan Adit masih bangun. Karena bosan menunggu, akhirnya Adit menyalakan televisi. Rega masih membaca buku di kamar. Belum beberapa lama, tiba-tiba..pet! Lampu mati begitu saja, semua gelap gulita.
Adit berteriak memanggil Rega, Ia pun tidak kalah kerasnya berteriak memanggil Adit. Mereka saling bersahut-sahutan. Mereka berdua amat takut pada kegelapan. Untung saja, Rega segera sadar! Masa ia harus takut pada kegelapan?
“Cepat Mas, kita cari lilin,” sela Adit setelah mereka saling bertemu. Brak brak… “Aduh!” tiba-tiba setumpuk buku menimpa Adit. Ia merintih kesakitan. “Aduh Mas, tolong! Kepalaku sakit, berdarah Mas! Berdarah, tolong!” rintih Adit. “Sabar Adit, ya…ya…akan kutolong,” kata Rega.
Rega meraba-raba dinding rumah mencari korek api. Dan tentu saja ia harus mencari betadin karena luka Adit harus diobati. Tak berapa lama, Byaar! Lampu menyala terang sekali. Rega amat girang! Bergegas ia menghampiri Adit. Buku-buku menumpuk berantakan di samping Adit, sementara Adit duduk bersimpuh kesakitan di lantai. Rega mengamati dengan teliti.
“Mana lukamu? Mana darahnya?” Rega mencari-cari darah di tubuh Adit. Ah, ternyata tak ada darah setetes pun yang keluar. Tak ada segores luka pun pada tubuh Adit. Adit meraba-raba dahinya yang basah akibat kena tetesan air hujan. “Wah, bocor,” celetuk Adit.
Mereka tertawa terbahak-bahak. Namun tiba-tiba, pet! Lampu mati kembali, dengan terburu-buru Rega memeluk Adit. “Ayo Dit, kita masuk kamar saja. Kita tidur saja,” ajak Rega.
Keesokkan harinya mereka terbangun, jam dinding berdentang enam kali. “Adit, ayo bangun, kita harus sekolah! Ayo cepat, nanti kesiangan,” ajak Rega. “Eh, Mas, apakah tadi malam kita memakai selimut ini?” tanya Adit keheranan, sambil membuka selimut tebal yang menyelimuti tubuh mereka berdua.
“Kurasa tidak, kan ini selimut Mama. Mengapa ada disini?” kata Rega. Segera Rega berlari keluar kamar. Ha!? Orangtuanya pun belum pulang. Kunci kamar mereka masih tergeletak pada laci tempatnya. Rega bingung. Adit pun bingung.
“Kalau begitu, siapa yang menyelimuti kita ya?” Adit bertanya. Rega memandang Adit, mereka saling pandang. Lalu secara bersamaan mereka berteriak sambil berlari menuju keluar rumah.
“Hantuuuu!!!” teriak Rega dan Adit.
“Eit, eiit, apa-apaan ini, kalian berdua?” sekonyong-konyong Mama datang dari arah dapur. Saat itu juga Rega lega. Lega sekali.
Cerita: JFK Ilustrasi: Agung