Sudah sejak lama, Uli dan Anti bersahabat. Uli adalah seekor ulat berwarna agak hijau dihiasi dengan garis-garis berwarna hitam. Tubuhnya tidak terlalu panjang. Namun, sedikit gendut. Sedangkan Anti adalah semut berwarna merah menyala. Dari kejauhan, tubuh Anti terlihat seperti sebuah titik merah yang sangat mencolok.

Bila dibandingkan dengan Uli, tubuh Anti jauh lebih kecil. Meski begitu, keduanya sangat bersahabat. Uli dan Anti sangat suka bermain di ranting pohon mangga, yang menjadi tempat tinggal keduanya.

“Uli, kita main yuk!” ajak Anti menghampiri Uli yang sedang berada di selembar daun. “Mau main apa, Nti?” tanya Uli.

“Kita main ke ranting di atas sana yuk!” teriak Anti bersemangat. “Bukannya kita tidak boleh bermain di sana?!” ujar Uli ketakutan.

“Tenang saja, kita pasti akan berhati-hati kok…,” tutur Anti dengan tenang.

Keduanya berjalan perlahan-lahan menyusuri ranting pohon. Sesampainya di batang pohon, mereka berdua memanjat pohon dengan mudah. Kaki-kaki kecil mereka langsung menempel di batang pohon besar itu.

Anti dan Uli semakin berada di bagian pohon paling tinggi. “Waduh, ranting ini tinggi sekali!” ujar Uli saat berada di ranting pohon. “Iya, kita bisa melihat kota ini dengan jelas!” timpal Anti dengan bahagia.

Saat sedang memandangi pemandangan kota dengan indah, tiba-tiba Uli terlihat gelisah. “Kamu kenapa, Li? Kok kelihatan gelisah?” tanya Anti penasaran.

“Sepertinya ini sudah saatnya aku pergi…,” jawab Uli sambil gemetaran. “Kamu mau pergi kemana?” rasa penasaran Anti belum juga dapat terjawab.

Tanpa menggubris pertanyaan itu, Uli bergegas pergi ke ujung ranting pohon. Warna hijau pada tubuh Uli mulai berubah. “Tubuhmu kenapa, Uli?” teriak Anti.

“Tenang saja, aku tidak apa-apa kok!” jawab Uli berusaha menenangkan sahabatnya itu.

Tiba-tiba, tubuh Uli mulai ditutupi dengan lapisan berwarna putih bercampur kuning. Uli menggantung dirinya sendiri di ranting pohon. “Apa yang terjadi dengan tubuhmu?” tanya Anti ketakutan. Anti menghampiri Uli dan berusaha menolongnya. “Aku tidak apa-apa, Anti!” jawab Uli. “Suatu hari nanti, kamu akan mengerti kenapa tubuhku seperti ini. Sekarang, lebih baik kamu pulang saja dan tinggalkan aku di sini!” kata Uli lagi.

Anti sebenarnya tak tega meninggalkan sahabat karibnya itu. Ia menganggap Uli sedang mengalami kesulitan. Namun, Anti sendiri tak bisa membantu Uli. Perasaannya bertambah sedih setelah Uli menyuruhnya pergi. Padahal, Anti ingin menolongnya.

“Aku akan meminta pertolongan ya, Uli. Kamu tunggu di sini!” tekad Anti sambil melihat tubuh Uli yang sudah tertutup lapisan berwarna putih dan kuning.

Dengan sekuat tenaga, Anti berlari turun dari batang pohon. Perasaan sedih bercampur ketakutan membuat Anti berlari kencang. Sesampainya di bawah, ia bertemu dengan kedua orangtuanya yang baru keluar dari sarang tak jauh dari akar pohon. “Ayah, Ibu, tolong Uli…,” ujar Anti sambil terengah-engah.

“Memang kenapa dengan Uli?” tanya Ayah penasaran. “Dia tiba-tiba terbungkus dan terperangkap!” ujar Anti panik.

Anti lantas menceritakan semuanya dari awal kepada Ayah dan Ibunya. “Haha..haha.. Uli tidak apa-apa, kok…,” jawab Ibu dengan tenang. “Tidak apa-apa bagaimana sih, Bu?! Uli tidak bisa keluar dari bungkusan itu. Aku takut dia tidak bisa bernapas!” tutur Anti yang masih dilanda kepanikan.

“Sudahlah, nanti kamu juga akan tahu. Sekarang, kamu tidak usah main ke ranting paling atas lagi, kamu bisa jatuh nanti!” saran Ayah dengan sabar.

Hari demi hari, Anti hanya bisa bermain sendiri. Ia tak lagi bermain bersama Uli. Sesekali, Anti merasa kesepian.

Suatu hari, Anti merasa rindu dengan sahabatnya itu. “Aku mau melihat Uli,” ujar Anti kepada dirinya sendiri. Ia kemudian memanjat batang pohon untuk menuju ranting paling atas.

Dengan susah payah, Anti berhasil sampai di ranting paling atas. Perlahan-lahan, ia melangkahkan kaki-kaki kecilnya menuju tempat Uli bergantung. “Hah, kemana si Uli?!” ujar Anti kaget.

Tak ada Uli di ranting itu. Yang ada hanyalah lapisan pembungkus yang sudah robek di beberapa bagian. “Uli…Uli…” teriak Anti memanggil sahabat karibnya itu.

“Jangan-jangan, Uli sudah dimakan burung,” ujar Anti. Ia langsung sedih setelah mengetahui Uli tidak ada. Anti yang merasa sangat sedih langsung berlari hendak kembali ke bawah.

“Krraaak..!” tiba-tiba kulit ranting pohon yang diinjak Anti terlepas. Tubuh Anti terpelanting jatuh ke bawah. “Arrhggghh… Tolooooong!!” teriak Anti saat terjatuh.

“Gubraaaak..!” tubuh Anti justru mendarat di tempat yang empuk. Ia kemudian terbang melayang-layang di antara ranting pohon. “Aku dimana?” tanya Anti.

“Halo, Anti!” terdengar suara yang sudah tak asing lagi di telinga Anti. Ternyata Anti diselamatkan oleh seekor kupu-kupu. Ia terjatuh di atas tubuh seekor kupu-kupu berwarna merah dan hijau. “Hah, suara kamu seperti aku kenal!” ungkap Anti.

“Haha.. Haha.. Aku Uli,” ujar si kupu-kupu sambil mengepakkan sayapnya. “Tak mungkin kamu Uli, karena Uli adalah seekor ulat!” jawab Anti tak percaya.

“Iya, Anti, aku dulu memang ulat. Tapi sekarang aku adalah kupu-kupu. Semua ulat juga akan berubah menjadi kupu-kupu!” tutur Uli menjelaskan.

“Oh, begitu ya!” jawab Anti masih terheran. “Berarti sekarang kita bisa bermain bersama lagi dong, Uli!” ujar Anti dengan wajah gembira.

“Iya, kita pasti akan selalu bermain bersama dengan terbang seperti ini,” ujar Uli. “Iya, kamu hebat sekarang bisa terbang!” timpal Anti. Keduanya pun kini bersatu kembali dan tetap bersahabat, meski Uli sudah menjadi kupu-kupu yang indah.  (Cerita : JFK / Ilustrasi : Agung)

 

 

 

You may also like
Latest Posts from Majalahjustforkids.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *