“Selamat ulang tahun, Dina!” seru Lulu dan Pabo, kedua sahabatnya. “Terima kasih! Aku senang kalian mau pergi denganku!” kata Dina.Untuk perayaan ulang tahun-nya, Dina mengajak Lulu dan Pabo menginap di Villa bibinya yang ada di daerah pegunungan Wagu. “Oh iya! Sekarang di desa Wagu ada perayaan untuk menghormati Puteri Sima, penguasa daerah Wagu zaman dahulu. Masyarakat desa bergiliran meminjamkan rumahnya untuk Puteri Sima,” kata Dina. “Mungkin roh Puteri Sima benar-benar datang ke rumah yang dipinjamkan!” seru Pabo dan Lulu.
Sampai di tempat tujuan, Pak Jumin penjaga Villa sudah menunggu. “Maaf, Pak, kami bikin repot,” kata Dina, Lulu, dan Pabo. “Ah, tidak, Bapak suka kalau banyak tamu!” kata Pak Jumin. Sore harinya, pak Kepala Desa Wagu datang berkunjung ke Villa dan berkata, “Apakah saya bisa meminjam Villa untuk dijadikan tempat singgah Puteri Sima?” Dina, Lulu, dan Pabo saling berpandangan, khawatir. Bibi Dina setuju meminjamkan Villa-nya untuk perayaan Puteri Sima! Dina, Lulu, dan Pabo terpaksa berkemah di luar. “Maaf ya,” kata Dina. “Nggak apa-apa, berkemah lebih asyik!” seru Lulu. “Iya, kita bisa memancing di danau! Lagian, suasana di Villa seram!” tambah Pabo.
Karena penasaran, Dina pergi melihat keadaan Villa bibinya yang sudah dihias untuk perayaan Puteri Sima. “Aduh..benar, seram!” bisiknya. Di setiap sudut Villa ada persembahan bumbu, makanan, dan bunga melati! Ada pemain gamelan yang memainkan irama tetap berulang-ulang. Semua lampu dimatikan. Penerangan hanya dari lilin. “Persembahannya jangan dirusak ya, nanti Puteri Sima marah,” pesan pak Kepala Desa. Dina semakin takut!
Untuk makan malam, Pabo memasak ikan bakar. “Tidak ada garam, Ikannya tidak enak!” seru Pabo. “Aku ambil garam di Villa dulu,” kata Dina. Dina mencari garam di dapur Villa, lalu dia ingat. “Garamnya dijadikan persembahan!” gumam Dina. “Apa boleh buat, terpaksa mengganggu persembahan Puteri Sima,” pikir Dina. “Maaf ya, Puteri Sima, aku mau ambil garam sedikit,” kata Dina sambil menyendok garam di piring persembahan. PRANG! Tiba-tiba, terdengar suara barang pecah dari lantai dua. Lalu…”Hi..hi..hi!” ada suara tawa wanita! “AAA!” Dina menjerit ngeri dan berlari keluar. “Dina, ada apa?” tanya Pabo. “Ada kejadian seram di Villa!” jawab Dina. “Jangan-jangan Puteri Sima!” seru Lulu. Dina mengangkat bahu, tidak mengerti apa yang terjadi. “Aku mencuci piring di sungai dulu, ya,” kata Pabo setelah mereka makan. Tapi, setelah setengah jam, Pabo belum juga kembali! Dina dan Lulu panik. Mereka meminta bantuan Pak Jumin untuk mencari Pabo. “Pabo dimana kau!” seru mereka. Pak Kepala Desa yang mendengar keributan itu, menghampiri Dina, Lulu, dan Pak Jumin dengan wajah tenang. “Tidak perlu khawatir, Puteri Sima hanya main petak umpet. Nak Pabo tidak apa-apa!” kata pak Kepala Desa. Setelah itu, terdengar suara Pabo memanggil-manggil. “Dina! Lulu! Pak Jumin! Aku disini!” Rupanya dari tadi Pabo ada di pinggir sungai! “Tapi kami sudah mencarimu di pinggir sungai, kau tidak kelihatan!” seru Dina dan Lulu. “Aku melambaikan tangan dan memanggil kalian, tapi kalian tidak melihatku!” kata Pabo. “Aneh sekali!” seru Dina.
Keesokan harinya, tiga sahabat itu kembali ke kota. “Ulang tahun Dina kali ini seru!” kata Lulu dan Pabo. “Sekarang kita bisa tertawa, padahal kemarin ketakutan!” kata Dina terkekeh. “Ayo, makan bekal buatanku!” seru Pabo. Mereka membuka kotak bekal. Namun tiba-tiba, wajah mereka pucat karena ngeri. “Si..siapa yang menaruh bunga melati di makanan?” bisik Dina ngeri. Pabo dan Lulu terdiam. Hi..hi..hi..! Dina teringat tawa jahil wanita yang didengarnya kemarin! Mungkinkah ini ulah Puteri Sima? Tiga sahabat itu tidak pernah mengetahuinya! (Teks: Seruni/ Ilustrasi: Just For Kids)