Sore hari sepulang sekolah, Hela pergi ke ruang makan dan mencium bau masakan. “Hiiiii!” Tiba-tiba terdengar jeritan dari ruang keluarga. “Dina?! Ada apa?” seru Hela berlari ke ruang keluarga. “Eh, Kak Hela! Sudah pulang ya?” tanya Dina yang duduk di sofa sambil menonton televisi. “Kenapa kamu menjerit tadi?” tanya Hela bingung. “Aku tadi nonton film dokumenter mengenai barang kuno berhantu! Saking seramnya, aku jadi berteriak…hehe maaf ya, Kak,” kata Dina malu. “Kamu sudah makan? Makan dulu, yuk,” ajak Hela. “Ayo!” seru Dina.
Setelah makan, Hela bercerita tentang rencananya untuk pergi ke Museum Barang Antik besok bersama Didi dan Neni, dua sahabatnya. “Iih.. seram! Museum barang antik pasti berhantu! Kata orang, hantu suka sekali mendiami barang-barang kuno!” seru Dina. “Bohong ah! Pergi ke museum itu berguna untuk menambah pengetahuan. Kamu sih sukanya pergi ke mall!” gerutu Hela. “Sudah deh, daripada marah-marah begitu, Kakak tidur saja sana!” kata Dina tertawa.
Hela berdiri di sebuah ruangan yang gelap dan dingin. Byar! Tiba-tiba, ruangan menjadi terang. Tepat di depan Hela, sebuah patung kepala wanita cantik dari batu, tiba-tiba muncul! Patung itu menangis…KRIIIIING! Suara jam weker berbunyi nyaring. Hela terbangun dengan panik. “Rupanya aku bermimpi,” bisiknya ketakutan. “Ah, sudahlah. Lupakan saja. Lebih baik aku mandi dan bersiap-siap ke museum,” katanya.
Di Museum Barang Antik, Didi dan Neni sudah menunggu di kafe museum. “Hela!” seru mereka berdua. “Kenapa wajahmu pucat?” tanya Didi. “Aku mimpi seram! Sepertinya gara-gara cerita adikku, Dina, tentang film dokumenter barang kuno berhantu,” kata Hela. “Tenang saja, Hela, mimpi nggak akan terjadi di dunia nyata. Yuk, kita masuk museum,” ajak Neni. Di dalam museum, lantai utama sudah penuh oleh pengunjung yang sedang mendengarkan penjelasan kurator. “Kita ke lantai dua saja, yuk, supaya bisa melihat-lihat dengan tenang,” ajak Hela. “Ayo! Aku mau foto-foto,” seru Didi.
Hela, Didi, dan Neni naik ke lantai dua museum. Suasana di sana hening dan dingin. “Wah, di sini ruangan patung!” ujar Heni membuka percakapan. “Uhh.. kenapa sih kamera-ku tiba-tiba bertingkah begini? Padahal patung yang ingin kufoto bagus sekali!” gerutu Didi yang hendak membuat foto sebuah patung. “Patung yang mana?” tanya Hela yang sedang memperhatikan pahatan sebuah patung burung dari kayu. “Yang itu!” Didi menunjuk patung di depannya. “Hiii!” jerit Hela. “Ini..ini patung yang kulihat di mimpi-ku yang seram semalam!” bisik Hela. Didi dan Neni terdiam. Mereka saling berpandangan dengan wajah pucat. Pet! Tiba-tiba, lampu ruangan itu padam! “AAAAAAAA!” Hela, Didi, dan Neni menjerit ketakutan. Lampu kembali menyala, dan seorang bapak petugas museum masuk. “Aduh, maaf, saya kira tidak ada orang,” katanya. “Maaf ya, Pak, kami mau membuat foto patung kepala wanita dari batu ini. Tapi tidak berhasil,” kata Didi. “Wah, sayang sekali ya? Padahal patung itu akan dikembalikan ke desa asalnya besok. Museum ini hanya meminjamnya. Begini saja, bagaimana kalau Bapak buatkan gambar patung ini untuk kalian?” kata si bapak. “Terima kasih, Pak, kami senang sekali,” seru Didi. “Sama-sama, panggil saja saya, Pak Samun,” jawab si bapak tersenyum ramah.
Hela, Didi, Neni, dan Pak Samun duduk di taman museum. Mereka sangat kagum melihat keahlian Pak Samun menggambar. “Nah, sudah selesai gambarnya,” kata Pak Samun. “Wah, mirip seperti aslinya! Keren sekali! Maaf ya membuat Bapak repot,” seru tiga sekawan itu. “Tidak apa-apa. Sudah banyak orang yang Bapak beri gambar ini, karena mereka selalu kesulitan membuat foto patungnya,” kata Pak Samun. “Ternyata, patung batu kepala wanita ini banyak peminatnya ya,” kata Hela termenung sambil memandangi gambar Pak Samun. “Iya, karena patung ini sangat unik dan aneh. Coba kalian perhatikan detail wajah si wanita. Cantik sekali kan? Padahal patung ini dibuat sebelum Masehi, ketika teknik pahat masih sangat sederhana. Dan lagi, batu yang digunakan bukan jenis batu yang mudah dipahat,” jelas Pak Samun. “Hah!?” Hela, Didi, dan Neni terkejut. “Ibu pemilik museum sangat ingin memiliki patung batu kepala wanita ini. Beliau berusaha membelinya dari orang desa, tapi mereka tidak mau. Kata orang, akhir-akhir ini ibu pemilik museum sering bermimpi aneh. Di mimpinya, patung kepala wanita dari batu ini menangis, seolah minta dikembalikan ke desa tempatnya berasal,” cerita Pak Samun. Hela melemparkan pandangan penuh arti pada Didi dan Neni. “Wah, sudah sore, kami harus pulang. Terima kasih ya, Pak. Lain kali kami datang lagi,” kata Hela berpamitan. “Bapak akan selalu bersedia mengajak kalian berkeliling museum,” kata Pak Samun. Di jalan pulang, Hela berdiskusi dengan Neni dan Didi untuk menenangkan hatinya. “Sudah pasti ini hanya kebetulan! Setelah aku pikir lagi, wajah patung batu ini mirip seorang tokoh sejarah! Aku dan ibu pemilik museum pasti pernah melihat wajah ini,” kata Hela. “Benar sekali. Mimpi kan terbentuk dari ingatan kita,” kata Neni. “Tapi, bagaimana dengan kameraku? Dan kamera orang lain yang tidak bisa membuat foto patung itu?” tanya Didi. Hela dan Neni terdiam, berpikir keras.
Kruyuuuuk! Tiba-tiba, perut mereka berbunyi. Tiga sahabat itu tertawa keras. “Pantesan nggak bisa mikir serius, lapar sih!” kata mereka. “Dari petualangan kita ini, satu hal yang sudah pasti. Kita tidak bisa memaksakan kehendak,” kata Hela. “Ya, kita harus mencontoh perbuatan ibu pemilik museum yang akhirnya mengembalikan patung batu ke tempatnya berasal,” sambung Neni. “Aku yakin penduduk desa akan menjaga patung itu dengan baik!” kata Didi. (Teks: Seruni/ Ilustrasi: Just For Kids)
nice page