Pagi yang cerah, Nina berangkat ke sekolah. Ia melewati para pedagang buah yang sedang menata buah-buahan. Nina melihat seorang pedagang menyusun buah sawo. “Hmm.. aku ingin sekali makan sawo!” kata Nina. Sampai di sekolah, Nina masih saja membayangkan buah sawo lezat yang dilihatnya tadi. Bel istirahat siang berbunyi. Nina dan anak-anak yang membawa bekal, tinggal di kelas untuk makan siang. “Waah! Luli membawa sawo!” seru seorang teman sekelas. Nina segera pergi ke meja Luli. “Aku bawa banyak, lho! Jadi kalau kalian mau sawo, ambil saja!” kata Luli pada Nina dan teman-teman. “Benarkah? Terima kasih, Luli! Waktu berangkat sekolah aku melihat pedagang buah yang menjual sawo! Sepertinya lezat sekali dan membuatku ingin memakannya. Keinginanku terkabul sekarang!” ujar Nina menggigit satu potong sawo pemberian Luli. “Lezat sekali!” tambah Nina. “Enak kan? Buah sawo yang kubawa ini lain dari yang lain. Rasanya lebih enak dari semua sawo yang pernah kumakan. Harganya hanya tiga ratus rupiah untuk satu buah!” ujar Luli tersenyum puas. “Aku mau beli!” seru Duni teman sekelas Nina. “Aku juga!” kata Nina. “Begini saja, bagaimana kalau kalian berdua belajar bersama dan menginap di rumahku hari Sabtu? Pak Budun penjual sawo lezat ini pasti lewat depan rumahku hari Minggu siang. Kalian bisa beli sebanyak-banyaknya!” ujar Luli memberi ide. “Setuju!” seru Nina dan Duni.

Hari Sabtu sepulang sekolah, Nina menunggu Duni yang mengikuti pelajaran tambahan musik. “Hai Nina, maaf ya menunggu lama!” kata Duni sambil menyimpan biolanya. “Nggak apa-apa kok, aku senang mendengar permainan dari anak-anak yang ikut pelajaran tambahan musik! Indah sekali!” kata Nina tersenyum. “Ayo, kita berangkat ke rumah Luli sekarang!” ajak Duni. Perjalanan ke rumah Luli sangat lancar. “Wah, asyik! Jalanannya tidak macet!” seru  Nina dan Duni. Luli sudah menunggu mereka di depan rumah. Wajah Luli tampak khawatir. “Hai Luli, maaf ya, kami lama! Kau marah, ya?” tanya Nina dan Duni, merasa bersalah. “Eh, tidak! Justru aku senang sekali karena kalian datang dan menginap di rumahku! Ada cerita yang harus kusampaikan pada kalian!” kata Luli serius.

Nina dan Duni duduk di kamar Luli, mendengarkannya bercerita. “Ini tentang Pak Budun penjual sawo yang enak itu!” kata Luli. “Ada apa dengan Pak Budun?” tanya Nina. “Pak Budun menjual sawonya dengan menggunakan roh halus!” bisik Luli ketakutan. “Hiiiii!” seru Duni ngeri. “Tunggu dulu, apa buktinya?” tanya Nina ragu. “Mbok Min yang bercerita kepadaku!” kata Luli. Terdengar ketukan di pintu dan Mbok Min masuk mengantarkan minuman dan kue kering untuk Nina, Duni, dan Luli. “Benar kan, Mbok Min? Waktu itu Mbok Min melihat dan mendengar sendiri kalau anjing-anjing peliharaan tetangga melolong sedih dan menggonggong ketika Pak Budun lewat,” kata Luli. “Benar, Non! Seram sekali! Mbok sampai berlari pulang, tidak jadi mengambil jalan yang sama dengan Pak Budun!” cerita Mbok Min. “Gawat! Anjing adalah binatang yang peka dengan makhluk halus! Dia pasti bisa merasakan makhluk halus yang mengikuti Pak Budun!” kata Duni. “Aduh, bagaimana ini?! Kita sudah terlanjur makan sawo Pak Budun!” seru Luli ketakutan. “Maaf, aku tidak percaya! Begini saja, bagaimana kalau kita diam-diam mengikuti Pak Budun Minggu siang besok? Jika benar-benar ada makhluk halus, kita pasti akan diganggu!” usul Nina.

Akhirnya, hari Minggu siang tiba. Pak Budun pun lewat di depan rumah Luli menawarkan sawonya. “Pak, aku mau beli sawonya!” seru Nina. “Pak Budun, kenalkan ini temanku, Nina dan Duni. Mereka sangat menyukai sawo Bapak yang enak dan manis!” kata Luli mengenalkan kedua temannya pada Pak Budun. “Waah, Bapak senang sekali!” ujar Pak Budun tersenyum gembira. Pak Budun sangat senang dagangannya habis dibeli Nina, Luli, dan Duni.  “Terima kasih ya, Adik-adik, hari ini Bapak jadi bisa pulang cepat!” kata Pak Budun. “Terima kasih kembali, Pak Budun!” seru Luli, Nina, dan Duni. Nina, Luli, dan Duni saling memandang penuh arti ketika Pak Budun berbalik dan berjalan pergi dari depan rumah Luli. “Ayo, kita ikuti Pak Budun diam-diam!” bisik Nina pada kedua temannya.

Nina, Luli, dan Duni berjalan pelan-pelan mengikuti Pak Budun. Mereka bertiga sampai di sebuah gang kecil yang ditumbuhi pohon bambu lebat. “Seram, Nina!” bisik Luli dan Duni. “Tidak ada apa-apa! Ini kan masih siang!” kata Nina. Sebenarnya Nina juga takut kalau tiba-tiba ada hantu muncul dari pohon-pohon bambu!“Hei, lihat itu! Rumah Pak Budun!” kata Luli. Nina, Luli, dan Duni bersembunyi di balik semak-semak. Dengan tegang mereka memperhatikan Pak Budun memanggil dua nama. “Putih! Hitam!” seru Pak Budun. “Ja..jangan-jangan, Pak Budun sedang memanggil makhluk halus!” ujar Luli gemetar. Nina dan Duni diam terpaku tidak berani menjawab dan bergerak.“Meong! Meoong! Meong!” dua ekor kucing, masing-masing berwarna putih dan hitam datang menghampiri Pak Budun. Nina, Luli, dan Duni terkejut. Ternyata Putih dan Hitam adalah nama-nama kucing, bukan makhluk halus! Nina menutup mulutnya menahan tawa, begitu juga dengan Luli dan Duni. Lalu dengan hati-hati, mereka bertiga meninggalkan tempat itu dan pulang ke rumah Luli.

Mbok Min yang diceritakan tentang kucing-kucing Pak Budun oleh Nina, Luli, dan Duni tersipu-sipu malu. “Aduh, Mbok menyesal sekali karena sudah takut! Ternyata Pak Budun digonggongi oleh anjing karena dia memelihara kucing, ya? Wah, anjing-anjing itu pasti mencium bau kucing!” kata Mbok Min, malu. “Iya, Mbok, lain kali kita tidak boleh menuduh sembarangan! Kasihan kan Pak Budun!” kata Nina dan Luli. “Asyiik.. berarti kita sekarang bisa pesta sawo Pak Budun, ya? Ayo, kita makan!” seru Duni senang. (Teks: Seruni/ Ilustrasi: Just For Kids)

 

You may also like
Latest Posts from Majalahjustforkids.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *