“Di buku ini ada 8 nama teman Kakek, berarti sesuai dengan yang ada di lukisan yang jumlahnya 9, termasuk Kakek,” ungkap Nicko sambil membuka lembar demi lembar buku catatan milik Kakek.
“Ayo, kita hubungi mereka lewat telepon!” ajak Ayah. “Tapi, kenapa yang aku lihat tadi malam di teras, hanya ada 8 tentara, ya?” gumam Nicko seraya berjalan menuju meja telepon.
Ayah lalu menekan nomor telepon sesuai yang tertulis di buku catatan Kakek. “Ayo, kita mulai dengan yang pertama, Supardjo,” ujar Ayah sambil memegang gagang telepon. “Halo. Apa benar ini rumahnya Pak Supardjo?” tanya Ayah. “Iya benar, Pak,” begitu jawaban dari seorang pria di ujung telepon.
“Maaf, apakah Pak Supardjo-nya ada?” Ayah kembali bertanya. “Pak Supardjo sudah meninggal 5 tahun lalu, ini dari siapa, ya?” timpal pria tersebut. “Ehmm.. Saya Rudi, anak temannya Pak Supardjo. Terima kasih, ya. Selamat siang,” ujar Ayah yang langsung menutup telepon.
Ayah dan Nicko kebingungan. “Kita coba lagi berikutnya, Ayah,” ucap Nicko sembari menyemangati Ayah. Sudah 7 teman Kakek yang dihubungi Ayah. Namun, semuanya sudah meninggal. Tersisa satu nama lagi, Sutarno di urutan terakhir.
“Halo…”
Terdengar suara laki-laki di ujung telepon saat tersambung. “Halo, apakah ini kediamannya Pak Sutarno?” tanya Ayah.
“Benar, saya Sutarno,” jawab laki-laki itu dengan nada agak bergetar. Seketika, Ayah terkejut bercampur lega. Akhirnya, dari sekian teman Kakek di lukisan, ada yang masih hidup.
Setelah Ayah bercerita panjang lebar, akhirnya, satu-satunya teman Kakek itu bersedia untuk menampung lukisan tentara. “Ayo, kita antarkan lukisan ini ke rumah Pak Sutarno,” ajak Ayah.
Dengan menumpang taksi, Ayah dan Nicko menempuh perjalanan menuju tempat tinggal Pak Sutarno. “Oh, aku sekarang mengerti kenapa aku hanya melihat 8 hantu tentara di teras termasuk Kakek! Karena satu orang lagi masih hidup, ya, Pak Sutarno itu,” terang Nicko. “Wah, jadi lukisan ini memang harus disimpan oleh Pak Sutarno. Jika beliau nanti meninggal, maka lukisan ini harus dihancurkan, ya,” ujar Ayah. “Iya, betul sekali!” timpal Nicko kegirangan karena berhasil memecahkan misteri lukisan tentara itu.
Sejam berlalu di perjalanan, akhirnya Ayah dan Nicko sampai di rumah Pak Sutarno.
Tok.. Tok.. Tok..
Ayah mengetuk pintu rumah. Tak berapa lama, pintu terbuka perlahan. Seorang pria tua muncul dari balik pintu. Sebuah kacamata menggantung di lehernya. Tangan kanan pria tua itu memegang sebuah tongkat untuk membantunya berdiri dan berjalan.
“Kamu Rudi, ya, anaknya Sutarman?” Pak Sutarno langsung bertanya tanpa basa-basi. “Betul, Pak. Saya dan anak saya, Nicko, hendak mengantarkan lukisan ini,” jawab Ayah sambil menunjukkan lukisan tentara yang dibawanya. “Wah, akhirnya lukisan ini sampai juga di tangan saya. Karena hanya saya yang masih hidup,” ucap Pak Sutarno sambil tersenyum penuh misteri.
“Saya boleh meminta tolong sekali lagi kepada kalian?” tanya Pak Sutarno. “Ehmm.. Boleh,” jawab Nicko ragu-ragu bercampur penasaran. “Karena saya sekarang tinggal seorang diri, jika nanti saya meninggal, tolong hancurkan lukisan ini. Supaya tidak menjadi petaka,” jelas Pak Sutarno. Ayah dan Nicko pun kaget bukan kepalang. Keduanya beradu pandang penuh arti dan khawatir dengan lukisan tentara itu nantinya. SELESAI
Cerita: JFK Ilustrasi: JFK