Hasim, seorang petani miskin, tinggal di sebuah desa kecil. Sudah lama ia menikah dengan Shifa. Penantian Hasim untuk memiliki keturunan akhirnya terwujud, ia memiliki seorang putri cantik. (Hasim, a poor farmer, lives in a small village. He has been married to Shifa for quite some time. Hasim’s longing for a child finally came true, he now has a beautiful daughter.)
Namun, kebahagiaan Hasim sirna saat isteri tercintanya meninggal karena sakit parah. Hasim pun berjanji pada Shifa kalau ia akan menjaga putri mereka yang bernama Lalita sebaik-baiknya. (However, Hasim’s happiness washed away as his beloved wife died of terminal illness. Hasim then promises Shifa that he will take good care of their daughter, named Lalita.)
Hasim tidak bisa menjaga Lalita terus menerus karena harus bekerja. Pagi hari, usai dimandikan dan diberi makan, Lalita kecil ditaruh di dalam kotak besar yang nyaman.(Hasim couldn’t keep an eye on Lalita all the time because he has to go to work. In the morning, after giving her a bath and feed her, little Lalita is placed in a comfy big crib.)
Malam hari saat pulang, Hasim mendapati Lalita sudah tertidur lelap. Hasim sangat senang putrinya tumbuh karena keajaiban yang Maha Kuasa. Ia yakin ada yang merawat putrinya selagi ia bekerja. Lalita pun tumbuh menjadi anak yang baik, sopan, cerdas, dan cantik. (On his arrival at night, Hasim finds Lalita is sound asleep. Hasim is very excited to see his daughter grow with the help and kindness of the Almighty. He believes that his daughter is being taken care of as he goes to work. Lalita grows into a kind, polite, clever and beautiful daughter.)
Suatu hari, ketika Lalita asyik bermain dengan teman-temannya, datanglah utusan Sultan yang sangat tamak dan pemarah. Ia mencari warga yang pintar dan bisa menjawab pertanyaan, lalu diberi hadiah dan bahan pangan melimpah. Tapi, bila tidak bisa menjawab, mendapat hukuman yaitu menjadi budak di istana. (One day, when Lalita was playing with her friends, came a messenger from the Sultan, who is very greedy and ill-tempered. He seeks a clever subject who can answer a question, in return for prizes and abundant staple goods. But, if the subject cannot answer, slavery in the palace awaits.)
“Apa pertanyaan Sultan yang harus dijawab?” tanya Lalita pada utusan kerajaan. “Apa yang dikatakan kincir air yang berada di samping istana saat ia berputar?” ucap utusan kerajaan. Utusan kerajaan menyuruh Lalita menghadap Sultan, jika ia sudah menemukan jawabannya. (“What is the question from the Sultan?” Lalita asks the royal messenger. “What does the watermill beside the palace say as it rotates?” says the royal messenger. The royal messenger tells Lalita to meet the Sultan, once she figures out the answer.)
Keesokan harinya, Lalita menghadap Sultan. “Jawaban pertanyaan Yang Mulia adalah, aku dulu adalah pohon besar di samping istana, kekeringan melanda dan aku ditebang,” jawab Lalita sopan. (The next day, Lalita faces the Sultan. “The answer to Your Majesty’s question is, I was once a big tree beside the palace, drought struck, and so I was cut down,” Lalita answers politely.)
Sultan termenung mengingat-ingat kejadian beberapa tahun lalu. Wilayah kerajaan sempat mengalami kemarau panjang dan kesulitan air, maka ia menyuruh penjaga istana menebang pohon besar dan membuat kincir air untuk mengalirkan air sungai ke istana. (The Sultan ponders and recalls the event several years ago. His sultanate had a long drought and water was scarce, and so he told the palace guards to cut down the big tree and made a watermill to direct the river flow to the palace.)
Akan tetapi, Sultan tidak serta merta memberikan hadiah yang telah dijanjikannya. Dia mengajukan pertanyaan lain pada Lalita. “Bagaimana kau bisa tertawa dan menangis dalam waktu bersamaan?” tanya Sultan yang memberi waktu pada Lalita untuk berfikir beberapa hari. (However, the Sultan doesn’t just give the prizes he promised. He then asks Lalita another question. “How can you laugh and cry at the same time?” asks the Sultan who gives Lalita a couple of days to think.)
Pada hari yang ditentukan, Lalita memanggil teman-teman badutnya dan membeli beberapa buah bawang merah. Lalita berangkat ke istana bersama teman badutnya yang terus melucu sepanjang perjalanan hingga ia terus tertawa. Di kedua tangannya, terdapat bawang merah yang sudah dikupas dan diiris hingga membuat matanya terus berair seperti menangis. (On the day determined, Lalita summons her clown friends and bought a couple of red onions. Lalita goes to the palace with her clown friends who joke all the way so she keeps on laughing. In her hands are the peeled and sliced red onions to make her eyes water as if she is crying.)
Sampai di istana, Sultan melihat Lalita yang tertawa-tawa namun matanya mengeluarkan air mata seperti orang menangis. Sultan pun tertawa melihat Lalita yang cerdik. Sultan menepati janjinya dengan memberi Lalita uang dan bahan pangan berlimpah. (Upon her arrival, the Sultan sees Lalita laughing but her eyes are shedding tears as a person who cries. The Sultan then laughs to see Lalita’s clever act. The Sultan fulfills his promise and gives Lalita money and abundant staple foods.)
Kecantikan, tingkah sopan, dan kecerdikan Lalita, ternyata memikat hati Sultan. Ia pun meminang Lalita untuk menjadi isterinya. Perlahan-lahan, perilaku Sultan pun berubah. Yang tadinya sombong, kejam, dan pemarah, kini, menjadi Sultan yang baik hati dan ramah pada semua rakyatnya. (The beauty, politeness, and cleverness of Lalita attracts the heart of the Sultan. He then asks Lalita’s hand in marriage. Slowly, the Sultan’s behaviors change, from a man of snob, cruel and ill-tempered, he becomes a kind-hearted and friendly Sultan to his subjects.) (Teks: Just For Kids/ Ilustrasi: Just For Kids/ Translator: Yos)