Keesokan hari, Neni, Emma, Weli, dan Indra berkumpul di kantin sekolah. Keempat sahabat ini menampakkan wajah yang serius. “Kita harus menghentikan kutukan si peniru ini!” ujar Emma. “Iya betul! Tiap kali dia muncul, salah satu dari kita pasti terkena sial,” timpal Weli. Neni dan Indra mengangguk setuju.

“Tapi, bagaimana cara kita menghentikannya?” tanya Neni. “Aku tahu! Bagaimana kalau kita bertanya dulu pada Pak Dadang. Mungkin dia tahu ceritanya,” ujar Indra. “Wah, betul juga! Ok, nanti siang sepulang sekolah, kita berkumpul di halaman belakang. Kita langsung temui Pak Dadang,” ucap Emma.

Kriiing.. Kriiing..

Tepat pukul 12 siang, bel berbunyi kencang. Neni, Emma, Weli, dan Indra sudah berkumpul di halaman belakang. Tak jauh dari mereka, Pak Dadang tengah menyapu halaman. “Halo, Pak Dadang!” sapa Weli dengan ramah. Pak Dadang lantas berhenti menyapu. “Halo juga,” timpal Pak Dadang. “Lho, tangan kamu kenapa? Kok dibalut?” tanya Pak Dadang. “Ehmm… Dua hari lalu, saya jatuh dari sepeda, Pak,” jawab Weli meringis.

“Iya, Pak. Lihat Indra, wajahnya terkena penyakit misterius dan aku kehilangan uang Rp 300 ribu kemarin,” cerita Emma. “Sepertinya mereka bertiga terkena sial gara-gara berteman dengan aku, siswi baru pindahan,” imbuh Neni.

Pak Dadang nampak menghela napas. Ia sepertinya kebingungan harus memulai cerita dari mana. “Baiklah, Pak Dadang akan menceritakan kejadian di sekolah ini 20 tahun lalu,” ujar Pak Dadang sambil mengajak keempat anak itu duduk di kursi panjang.

“Waktu itu ada siswi pindahan, namanya Inge. Tubuhnya memang agak gemuk. Sehingga, ia seringkali diejek oleh teman-temannya. Hampir tiap hari, Inge selalu diejek dan dihina,” kenang Pak Dadang. “Pak Dadang sendiri yang melihat bagaimana perlakuan anak-anak sekolahan ini kepada Inge,” lanjut Pak Dadang.

“Hingga suatu hari, saking nggak kuatnya menerima ledekan, Inge pernah berteriak ‘Anak-anak sekolah ini akan selalu sial jika menerima siswa pindahan!” tutur Pak Dadang. “Setelah mengucapkan kutukan itu, Inge tak pernah masuk sekolah lagi. Tahun berikutnya, sekolah menerima siswa pindahan, sebagian anak selalu sial. Malahan ada yang terserempet mobil. Akhirnya dari situ, pihak sekolah memutuskan untuk tidak akan menerima siswa pindahan lagi,” urai Pak Dadang.

Neni, Emma, Weli, dan Indra nampak serius mendengarkan cerita Pak Dadang. “Wah, berarti benar apa yang kita alami itu adalah kesialan,” ujar Indra. “Lalu bagaimana cara kita menghentikan kutukan ini, Pak?” Emma kembali bertanya. “Bapak tidak tahu. Tapi saran Bapak adalah mencari keberadaan Inge sekarang. Lalu mintalah dia untuk mencabut kutukannya itu,” ujar Pak Dadang.

Keempat sahabat itu pun saling berpandangan. Mereka kompak mengangguk setuju dengan saran Pak Dadang. “Pak Dadang tahu dimana alamat rumahnya?” tanya Neni. “Ehmm.. Seingat Bapak, di Jalan Suhayat No. 44. Tak jauh dari sini, persis di belakang warung Ayam Penyet Gandhi,” jawab Pak Dadang.

“Baiklah, ayo teman-teman, kita langsung ke sana!” ajak Emma penuh semangat. “Terima kasih, Pak Dadang!” ucap Neni, Emma, Weli, dan Indra berbarengan. Mereka pun langsung berjalan menuju alamat yang diberikan Pak Dadang. (BERSAMBUNG)

 

Cerita: JFK    Ilustrasi: JFK

You may also like
Latest Posts from Majalahjustforkids.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *