Di belakang sekolahku, ada pohon cemara. Tak ada yang tahu siapa yang dulu menanamnya. Kini, pohon dengan pucuk lancip itu telah menjulang tinggi ke langit. Halaman belakang sekolah jadi sejuk dengan adanya pohon cemara itu.
Suatu hari, anak-anak dikejutkan oleh kedatangan dua ekor burung kutilang. Aku dan teman-teman senang sekali bisa melihatnya melalui jendela kelas. Kicauan burung kutilang itu merdu sekali.
Suatu hari kami melihat kedua burung kutilang itu sibuk membuat sarang. “Oo..rupanya sang betina ingin bertelur,” kata Santi. “Alangkah akrabnya kedua burung itu. Mereka bergotong royong dengan baik,” ujar Mona. “Kita harus mencontoh kehidupan mereka. Saling bergotong royong dan tidak pernah bertengkar,” lanjut Icha.
Akhirnya burung kutilang itu bertelur. Secara bergantian mereka mengerami sarangnya. Telur-telur itu akhirnya menetas. Anak burung yang lucu menciap-ciap. Secara bergantian pula induknya memberi makan pada anak-anaknya.
Namun, suatu hari setelah jam sekolah usai, tampak dua anak mengendap-endap di bawah pohon cemara. Mereka membawa ketapel. Kedua anak itu adalah anak kampung yang malas sekolah. Dengan sigap mereka mengarahkan ketapelnya ke atas pohon cemara.
“Sraaaak..buk!!” Terdengar suara sebuah batu menghantam dedaunan dan jatuh ke tanah. Lalu terdengarlah kepakan dua burung kutilang pergi menjauh. Kini yang tinggal di sarang hanyalah anak-anak burung kutilang yang menciap ketakutan.
Aku, Mona, Santi, dan Icha mendekati kedua anak kampung tersebut. “Apa yang kalian ketapel?” tanyaku. “Burung kutilang,” jawab anak yang berambut keriting. “Untuk apa?” tanya Icha pula. “Kalau kena, dagingnya akan kugoreng,” jawab temannya. Tubuhnya lebih tinggi dari si rambut keriting.
Aku, Santi, Mona, dan Icha sebal mendengar jawaban itu. “Kalian tidak boleh membunuhnya. Burung-burung itu tidak berdosa,” ujar Santi. Kedua anak itu melotot dan berkata, “Apa hak kalian melarang-larang kami?” ujar si keriting. “Keberadaan burung itu untuk menjaga keseimbangan alam,” Icha menimpali. “Ah teori!” sahut si jangkung. “Bahkan kami tidak hanya membunuh burung kutilang itu, tapi nanti juga akan mengambil anak-anaknya,” lanjutnya. “Haaaa!!!” Kami marah mendengarnya. Kami mengancam bila kedua anak itu nekat mengambil anak-anak burung, kami akan mengadukannya ke Bapak Kepala Sekolah. “Kami tidak takut. Adukanlah!” jawab si keriting. “Pohon cemara ini tumbuh di luar pagar sekolah. Maka siapa saja berhak memanjatnya!” tambah si jangkung.
Betapa gusar hati kami. Serta merta Santi melipat lengan bajunya. Ia menantang berkelahi. “Sebelum kalian mengambil anak-anak burung itu. Langkahi dulu aku!” tantang Santi. Mona dan Dewi pun melipat lengan bajunya. Si jangkung dan si keriting tertawa ngakak. “Dengan Kepala Sekolah saja kami tidak takut, apalagi dengan kalian anak perempuan!” kata si keriting dengan sombongnya. Santi hampir saja tidak kuat menahan emosinya. Ia ingin menghajar anak-anak itu. Untung segera datang Ardi, Toni, dan anak-anak laki lainnya. Entah mengapa melihat kedatangan anak-anak laki-laki, kedua anak kampung itu segera pergi menjauh. “Dasar pengecut, belum apa-apa sudah lari!” Santi menggerutu.
Ardi bertanya apa yang terjadi. Santi menjelaskan ulah anak-anak kampung itu. “Burung kutilang itu akan dibunuh. Bahkan anak-anaknya akan mereka ambil,” terang Santi. “Sekarang apa yang mesti kita lakukan?” tanya Mona. Ardi dan kawan-kawannya berpikir sejenak. Tiba-tiba Ardi menemukan ide. Dibisikkannya ide itu ke telinga Santi. Anak-anak tersenyum dan mereka menyetujuinya. Keesokan harinya ketika anak-anak sedang belajar di kelas, kedua anak kampung itu mengendap-endap di bawah pohon cemara. Lalu secara diam-diam si jangkung memanjatnya. Ia ingin mengambil anak-anak burung. Baru sampai pada tangkai pertama pohon cemara, ia melihat sesuatu dan ketakutan setengah mati. Karena pegangan yang kurang erat, ia jatuh. “Gedebuk!!” tubuh si jangkung berdebam di tanah. “Uuuh aduuh!!” si jangkung merintih kesakitan.
Si jangkung segera ditolong oleh penjaga sekolah. Ia dilarikan ke puskesmas terdekat. Anak-anak segera keluar kelas. Mereka melihat bagaimana si jangkung merasa kesakitan. “Ini pelajaran berharga bagi si anak nakal!” ujar Santi. Ardi merasa puas rencananya telah berhasil.
Apa sebetulnya yang diperbuat oleh Ardi dan kawan-kawannya?
Tadi pagi Ardi telah memasang ular-ularan pada tangkai pertama pohon cemara. Si jangkung terkejut melihat ular yang terbuat dari karet itu. Itulah sebabnya ia menjerit dan terjatuh. Sejak itu si jangkung dan si keriting tidak nakal lagi. Mereka jera oleh perbuatannya sendiri. Bahkan kedua anak itu akhirnya kembali masuk sekolah. Mereka berjanji ingin menjadi anak yang baik. Bukankah sekolah sekarang gratis?
Kini burung kutilang tidak ada yang mengganggu lagi. Anak-anaknya tumbuh besar. Kicauannya terdengar riang di pucuk pohon cemara. (Cerita & Ilustrasi : JFK)