Di balik polosnya tawa seorang anak berkebutuhan khusus, ada sosok ibu yang kuat dan tegar.

Semua ibu ingin anaknya terlahir sehat dan normal, tak terkecuali Mei Lini (37 tahun). Ia dan suami, Oky Alexander, sebelumnya telah memiliki seorang anak perempuan yang cantik bernama Renne Alexandra. Kebahagiaan keluarga kecil tersebut semakin lengkap ketika Mei Lini mengandung lagi. Harapan memberikan adik bagi Renne, bagaikan lukisan yang sempurna.       

Congenital Rubella Syndrome

10 Desember 2015, Finn Benedict Alexander, lahir. Bahagia, pasti! Namun sedikit ternoda begitu dokter anak mengatakan sang putra alami bocor jantung. Tepatnya, Finn alami kelainan jantung yang disebut Patent Ductus Arteriosus (PDA) dan Atrial Septal Defect (ASD). Pemeriksaan darah pun langsung dilakukan dan Finn positif Rubella. Kesedihan Mei Lini dan suami semakin panjang. Terlebih ketika pemeriksaan lanjutan menemukan bahwa Finn juga alami katarak dan tuli total.

Ya, Finn terdiagnosa Congenital Rubella Syndrome (CRS). Ini adalah suatu kumpulan gejala penyakit terdiri dari katarak, penyakit jantung bawaan, gangguan pendengaran, dan keterlambatan perkembangan. Sindrom tersebut disebabkan infeksi virus rubella pada janin selama masa kehamilan akibat ibu tidak mempunyai kekebalan terhadap virus rubella.

Finn Benedict Alexander

Operasi Demi Operasi

Sebagai ibu, perasaan Mei Lini hancur lebur. Meski sempat menyalahkan diri, marah pada keadaan, namun wanita cantik ini perlahan sadar dan ikhlas, bahwa dunia terus berjalan. Hikmah ini membuat ia lebih dekat kepada Tuhan, dan sangat berperan membentuk pribadinya menjadi lebih kuat.

Selanjutnya, ia dan suami fokus pada masa depan Finn. Segala upaya mereka lakukan. Di saat bayi lain bisa tidur dengan tenang, nyaman di buaian, Finn  harus melakukan operasi katarak pada usia 1,5 bulan. Hampir bersamaan, bayi mungil itu juga sudah dikenakan alat bantu dengar. Pada usia 3 bulan, Finn melakukan fisioterapi untuk memperkuat motorik kasar-nya, sebab perkembangannya sangat terlambat dibandingkan bayi normal lain. Apalagi ketika dilakukan tes MRI otak, Finn juga didiagnosa mikrosefali, yakni lingkar kepalanya berukuran lebih kecil dibanding normal.

Perjuangan bayi Finn tak berhenti di sana. Di usia 9 bulan, Finn menjalankan operasi saluran mata. Dan demi membuat bayinya bisa mendengar, saat Fin berusia 14 bulan, Mei Lini dan suami memutuskan tindakan pemasangan cochlear implant (implan koklea/rumah siput). Ini merupakan alat bantu dengar yang ditanam di bawah kulit kepala Finn melalui tindakan operasi. “Kami putuskan melakukan ini karena alat bantu dengar yang Finn pakai sebelumnya, tidak membantu pendengaran dia,” cerita Mei Lini.

Perjuangan untuk memperbaiki beberapa organ tubuh yang mengalami kekurangan tersebut, membuat Finn kecil bolak-balik rumah sakit hingga berusia 3 tahun.

Mei Lini dan kedua buah hatinya, Renne Alexandra dan Finn Benedict Alexander

Seolah “Hilang” dari Dunia Luar

Rehabilitasi Finn membuat Mei Lini harus mencurahkan hampir seluruh waktunya untuk sang putra. Mulai dari menstimulasi Finn untuk tengkurap, merangkak, melihat, mendengar,  berjalan, belajar mengenal benda, semuanya! Ia curahkan atensinya untuk mendampingi si bungsu menjalankan segala macam terapi dan stimulus.

Jangan ditanya apakah ia pernah lelah. Sebagaimana manusia, ia pun mengalaminya. Bahkan, Mei Lini seperti hilang kontak dengan dunia luar yang gegap gempita, saking fokusnya merawat Finn. Meski tertatih, ia dan suami mengupayakan segalanya. Waktu, tenaga, perhatian, biaya operasi, dan perawatan yang mahal pun sempat menjadi masalah. “Tapi ternyata saat kita pasrah, Tuhan punya cara yang berbeda yang tidak bisa diterima logika manusia,” ungkapnya mengingat masa lalu.

Sekolah dari Rumah

Mengingat Finn (kini 7 tahun) memerlukan perhatian yang lebih ekstra, Mei Lini dan suami memutuskan metode home schooling. “Bisa dibilang, Finn baru benar-benar belajar pada usia 4 tahunan. Karena 3 tahun pertama kita fokus benerin organ-organnya dulu, mata, pendengaran, motorik kasar, segala macam,” ungkap Mei Lini.

Mengasuh Finn yang saat itu sudah balita, diakuinya seperti mengasuh bayi, karena tumbuh kembang Finn yang lambat. “Namun semakin ia besar, sudah lebih bisa berkomunikasi, sudah bisa lancar merespons,” ucapnya penuh syukur. Hal ini tak lepas dari kedisiplinan yang Mei Lini terapkan saat Finn menjalankan aneka sesi terapi-nya.

Tentu ada saatnya ibu rumah tangga ini jenuh, lelah, dan bosan. Apalagi bila perkembangan Finn bagaikan jalan di tempat. Namun, begitu Finn menunjukkan kemajuan sedikit saja, Mei Lini menjadi semangat lagi.

Meskipun secara kognitif dan sosialisasi, perkembangan Finn terlambat 2-3 tahun dari teman sebayanya, Mei Lini selalu menganggap itu adalah keunikan Finn. Ia memetik banyak pelajaran hidup memiliki anak istimewa yakni hubungannya semakin intim dengan Tuhan, dan ia dilatih bersabar. “Jangan pandang kehadiran anak disabilitas dalam keluarga sebagai hal negatif. Percayalah, sekeras apa pun yang kita lakukan, Tuhan pasti punya rencana. Kerjakan bagian kita, sisanya ikhlaskan dan biarkan Tuhan bekerja untuk kita,” tutup Mei Lini. (Efa)

“Anak berkebutuhan khusus memiliki milestone yang berbeda dengan anak normal. Untuk melatihnya ataupun bermain dengannya tentu tak semudah dengan anak kecil pada umumnya. Tetapi, jangan berkecil hati. Orangtua yang memiliki anak spesial, kesabarannya juga Tuhan kasih spesial, pun juga rezeki-nya. Sebagai orangtua kita harus melakukan segala sesuatunya dengan suka cita, penuh kasih sayang, perhatian, dan bersabar.”

Cecilia Sinaga, M. Psi, Psikolog.

Foto: Instagram @mei.lini

You may also like
Latest Posts from Majalahjustforkids.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *