Siang itu sepulang sekolah, setelah berganti pakaian dan makan siang, Adit dan Dion bermain bersama di rumah Adit. Mereka berdua asyik bermain mobil-mobilan, ditemani kucing piaraan Adit si Pussy. Karena keasyikan bermain, mereka tak sadar jika hari telah sore. Saatnya mandi dan mengerjakan PR. Dion pun berpamitan pulang.Namun, keceriaan Adit berubah seketika saat Dion pulang. Adit tampak murung dan Ibu mengetahui raut muka anak lelakinya murung. “Ada apa, Dit?” tanya Ibu khawatir. “Bukannya kamu tadi habis bermain dengan Dion?”
Adit tidak menjawab pertanyaan Ibunya. Dia hanya menundukkan kepala. Di saat yang bersamaan, kakak perempuan Adit, Nana masuk ke dalam ruangan. “Ibu,” seru Nana kepada Ibunya. Ibu melirik ke arah Adit lalu berbalik kepada Nana, dan melirik Adit sekali lagi. Mengertilah Ibu mengapa Adit tampak murung dan tidak bersemangat. “Pasti berhubungan dengan kecacatan fisik Nana,” ucap Ibu dalam hati. Nana, kakak Adit menderita cacat di kedua kakinya sejak lahir. Untuk itulah Nana menggunakan bantuan kursi roda untuk berjalan.
Setelah mandi, Adit mengurung diri di kamar hingga tiba waktunya makan malam. Usai makan malam, Adit langsung masuk kamar. Ibu menyusulnya. “Adit…,” panggil Ibu. “Boleh Ibu masuk dan mengobrol denganmu?” “Masuk saja Bu,” jawab Adit. Ibu pun masuk ke kamar Adit dan melihat Adit duduk termenung di tempat tidurnya. Sambil mengusap-usap rambut Adit, Ibu bertanya, “Kenapa kamu kelihatan sedih? Apa kamu berkelahi dengan Dion?” Ibu mencoba memancing agar Adit mau mengatakan apa yang telah membuatnya sedih dan murung.
Tak menjawab pertanyaan Ibu, Adit malah balik bertanya kepada Ibu. “Bu, kenapa Kak Nana berbeda denganku?” ucap Adit. Sambil duduk mendekati Adit, Ibu menjawab dengan penuh kelembutan, “Itu karena Kak Nana anak yang istimewa.” Adit memandang Ibu tak mengerti. “Maksudnya apa, Bu?”. Ibu merangkul pundak Adit. “Tentu saja Kak Nana istimewa karena dia kakakmu tersayang. Meski Kak Nana memiliki kekurangan namun dalam banyak hal, Kak Nana tidak berbeda dengan anak-anak yang lain. Tuhan sayang pada Kak Nana, sehingga Kak Nana diberi keistimewaan itu,” ujar Ibu mencoba memberi pengertian kepada Adit.
“Kamu malu mempunyai kakak yang cacat?” tanya Ibu. Adit tidak menjawab, dia hanya menunduk. Dengan penuh kasih sayang Ibu membelai kepala Adit sembari memberi pengertian kepada Adit mengenai kondisi fisik anak perempuannya yang berbeda dengan anak lainnya. “Kamu malu karena tadi Dion memandang Kak Nana dengan penasaran?” tanya Ibu lagi. Akhirnya pelan-pelan Adit mengangguk. “Adit tidak mau Kak Nana dipandang seperti orang aneh, Bu,” jawab Adit.
Ibu tertawa pelan. “Sayang, Dion memandang Kak Nana karena dia ingin tahu kenapa Kak Nana berbeda dengan anak-anak yang lain. Dion bertanya-tanya dalam hati tentang cacat Kak Nana. Ini seperti pelajaran IPA. Kamu mengamati binatang lalu bertanya kepada gurumu kenapa ulat bulu dan cacing tanah tampak berbeda. Pertanyaan itu normal, Adit. Nah, sebagai teman Dion apalagi sebagai adik Kak Nana, kamu dapat memberi penjelasan pada Dion,” terang Ibu. “Menjelaskan apa, Bu?” tanya Adit penasaran.
Dengan sabar Ibu memberi pengertian kepada Adit. Ia tahu sifat anak bungsunya ini harus dihadapi dengan kelembutan dan kesabaran. “Menjelaskan bahwa biar pun Kak Nana cacat dan berbeda dengan kita, Kak Nana tidak boleh dianggap sepele apalagi diejek,” kata Ibu kemudian.
Ibu menunjuk dada Adit, memberi semangat dan kepercayaan kepada Adit. “Hati Kak Nana kan sama dengan hati anak-anak lain. Kak Nana mempunyai perasaan yang harus kita jaga dan hormati. Dan ingat Adit, kakakmu itu mempunyai kecerdasan istimewa yang tidak boleh kita lupakan. Buktinya Kak Nana selalu menang dalam lomba mata pelajaran,” kata Ibu lagi. Adit menyentuh tangan Ibu. “Apa orang-orang cacat lainnya juga seperti Kak Nana?” Adit berusaha ingin tahu.
Lagi dan lagi, Ibu menjawab dengan sabar, “Ingat tidak? Kita kan pernah mengunjungi sekolah Kak Nana, sekolah anak-anak cacat. Betul mereka cacat, tapi bukan berarti mereka tidak mempunyai perasaan dan hati. Mereka cacat fisik, bukan cacat perasaan. Di luar berbeda tapi di dalam tetap sama.”
Adit berpikir keras. “Jadi aku harus terus menerus membantu Kak Nana ya, Bu?” ucap Adit. Ibu menjawab, “Ya, kamu dapat membantu Kak Nana atau orang-orang cacat lainnya kalau mereka mengalami kesulitan. Tapi ingat ya Nak, kamu tidak boleh marah jika mereka menolak uluran tanganmu. Banyak orang cacat yang sukses karena mendapat kesempatan untuk mandiri. Untuk menunjukkan hormat kepada mereka, tataplah mata mereka jika kamu sedang berbicara dengan mereka.”
Mata Adit kini berbinar. “Benar kata Ibu!” seru Adit bersemangat. “Besok akan kuceritakan tentang Kak Nana kepada Dion. Biar kutunjukkan piagam penghargaan juara kelas milik Kak Nana. Aku tidak sabar melihat reaksi kagum Dion,” seru Adit lagi.
Ibu memeluk erat Adit. “Anak pintar!” ujar Ibu gembira. “Ini baru jagoan Ibu!” tambah Ibu. “Adit sayang Kak Nana, Bu. Adit juga sayang Ibu,” lanjut Adit masih dalam pelukan Ibunya. “Ibu juga sayang Adit dan Kak Nana. Kak Nana pasti juga bangga punya adik jagoan kayak Adit!” tambah Ibu lagi.
Adit mengerti setelah mendapat penjelasan dari Ibunya. Ia tidak akan malu lagi mempunyai kakak seperti Kak Nana. Karena Adit tahu Kak Nana anak yang istimewa dan dia sama dengan anak-anak lainnya. (Cerita : JFK Ilustrasi : Fika)