TEMANGGUNG, majalahjustforkids.com – Pesantren hafidz Qur’an Abata yang berlokasi di Manding, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, saat ini telah memiliki 43 santri putri dan 6 santri putra berkebutuhan khusus.

Menurut Pengasuh Yayasan Abata Indonesia, Mukhlisin Nuryanta, pesantren yang berdiri sejak 2016 ini memang fokus pada anak-anak tuna rungu yang berasal dari berbagai daerah seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga yang terjauh Tenggarong, Kalimantan Timur.

Berawal dari tiga santri di awal berdirinya lembaga tersebut, saat ini Abata telah menampung total 49 santri dari 224 pendaftar karena keterbatasan daya tampung.

“Sejak dirintis dari rumah kontrakan beberapa tahun yang lalu, respon masyarakat sangat positif terhadap keberadaan pesantren Abata ini. Terbukti banyak orangtua yang memiliki anak tuna rungu menitipkan kepada kami. Selain karena konsepnya adalah pendidikan gratis atau beasiswa, kurikulum kami memadukan antara kurikulum pesantren dengan kurikulum pendidikan anak tuna rungu yang bermutu dan progesif,” tuturnya.

Dijelaskan Ustad Lisin, panggilan akrab Mukhlisin, awalnya Abata ia dirikan karena merasa kesulitan untuk mendapatkan pendidikan bagi putri sulungnya yang mengalami tuna rungu sejak usia tiga tahun. Sebelum akhirnya menjadi pesantren, Abata dulunya adalah sanggar belajar wicara untuk anak tuna rungu dengan nama Rumah Abata.

“Saat ini kami menerapkan terapi dengan metode lips reading atau visual phoenik yang merupakan pembelajaran materi secara visual penglihatan. Santri-santri kami diharapkan bisa berkomunikasi secara verbal, dan setiap hari mereka melakukan terapi wicara dari guru-guru yang telah bersertifikat,” jelasnya.

Untuk pembelajarannya, fokus pada konten yang lebih mengarah kepada akhlak, ibadah, penghafalan Al Qur’an (tahfidz), komunikasi lisan dan isyarat, pengembangan bakat dan minat, serta kewirausahaan.

“Kami belum melihat anak-anak tuna rungu bisa memiliki akses pendidikan bermutu, termasuk akses pendidikan Al Qur’an. Perubahan dari sanggar menjadi pesantren karena kami menilai anak tuna rungu juga butuh ilmu tentang ibadah yang benar serta berlatih konsisten melaksanakan jadwal ibadah mereka masing-masing,” tegasnya.

Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan pangan santri, pesantren Abata membutuhkan sedikitnya 74 kilogram daging ayam per bulan, 150 kilogram sayuran, 330 kilogram buah-buahan, serta 74 kilogram telur.

“Kurang lebih kami butuh dana untuk kebutuhan makan 49 santri adalah sekitar tujuh juta rupiah per bulan. Tentunya ini belum termasuk kebutuhan operasional untuk menggaji guru serta lainnya,” kata Ustad Lisin.

Ustad Lisin pun bersyukur selama ini pesantren asuhannya tersebut banyak yang membantu meskipun pihaknya tidak pernah memasang iklan.

“Dari mulut ke mulutlah Abata dikenal luas masyarakat. Kami saja sampai kewalahan menerima siswa baru sehingga harus melalui proses seleksi. Mungkin disebabkan karena Abata merupakan sedikit dari lembaga pendidikan berbasis keagamaan yang fokus pada pengasuhan anak tuna rungu. Kami berharap, santri-santri kami ini kelak punya masa depan yang cerah sebagaimana anak-anak normal lainnya. Mereka adalah aset bangsa yang sangat berharga,” tutupnya.

Foto: Ist

You may also like
Latest Posts from Majalahjustforkids.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *