Ramadan tahun ini adalah tahun ketiga Brian berpuasa. Sejak dua tahun lalu, dia sudah belajar berpuasa penuh dari Shubuh hingga Maghrib.

Suatu hari, Ayahnya pernah berkata, “Memang, berpuasa tampaknya adalah sesuatu yang berat. Namun kelak kamu akan tahu manfaat kita diwajibkan berpuasa.” Sampai sekarang Brian kelas VI, dia belum mengerti juga maksud ucapan dari Ayahnya. Baginya, puasa adalah sebuah kesusahan menjelang kegembiraan. Dimana umat Islam merayakan kemenangan berpuasa dengan baju baru dan makan makanan yang enak-enak saat Idul Fitri. Saat ini, hanya itulah yang Brian tunggu ketika bulan puasa menjelang.

Hari pertama berpuasa, dengan malas Brian bangun untuk makan sahur. Meski di meja makan Ibu sudah menyediakan makanan yang tampak lezat, begitu susah Brian menimbulkan selera makannya. Saat itu menurutnya lebih baik meneruskan tidur. Tapi, kalau tidur lagi dia akan mendapat malu dari Adiknya, Arka. Anak laki-laki kelas II SD itu tampak gembira duduk di meja makan. Ya, Arka tampak bersemangat makan sahur.

Brian jadi teringat saat pertama dia belajar berpuasa. Seperti Arka, dia pun bersemangat berpuasa saat itu. Ayahnya menjanjikannya tambahan uang saku bila berhasil melaksanakan puasa hingga Maghrib tiba. Begitu juga dengan Arka saat ini. Dia pun dijanjikan mendapat tambahan uang saku itu.

Tapi, bagi Brian kini lain. Orangtuanya tak menjanjikan apa-apa padanya. Kini dia dianggap sudah cukup besar untuk menjalankan ibadah dengan tanpa iming-iming hadiah. Karena sekarang, Brian harus tahu bahwa berpuasa adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan oleh umat Muslim.

Dengan malas dan mengantuk, Brian duduk di belakang meja makan. Sup ayam jagung hangat bikinan Ibu tak juga menerbitkan selera makannya. Ayam goreng yang baru turun dari penggorengan juga belum membuatnya bersemangat. Dia melihat saja tingkah laku Adiknya yang dengan lahap menyantap makanan yang disediakan.

“Kamu nggak makan sahur, Bri?” tegur Ibunya melihat anak laki-laki sulungnya diam. “Makanlah, Bri. Makan sahur penting untuk tenagamu seharian nanti,” susul Ayah. Dengan mata yang masih berat, Brian mengambil nasi dari wadahnya ke atas piring.

Hari-hari berpuasa berlalu dengan sangat lamban menurut Brian. Cuaca panas membuat perasaannya semakin tertekan. Yang ditunggunya adalah waktu berbuka. Satu lagi yang ditunggunya adalah saat shalat Tarawih. Di Masjid, dia bertemu dengan kawan-kawannya. Dan bermain bersama di halaman Masjid usai Tarawih.

Di suatu hari Minggu, Ayah telah bersiap pergi ke pasar. Dia mengajak Brian pergi ke sana. “Sekalian sambil menunggu Maghrib,” kata Ayah menghibur Brian. Tentu saja Brian sangat senang.

Dengan sepeda motor, mereka ke pasar. Brian dan Ayah berkendara menembus terik cahaya matahari dan udara panas jalanan. Brian menikmati perjalanan itu sambil melihat-lihat ke tepi jalan. Melupakan terik matahari yang menyengat kulitnya.

Tapi tiba-tiba, sepeda motor meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Ayah tampak berusaha mengendalikannya agar tak jatuh, menabrak atau tertabrak kendaraan yang lain.

“Astaghfirullah….ban kita kempes, Bri,” kata Ayah sambil meminggirkan sepeda motornya ke tepi jalan. Dan benar. Ban belakang sepeda motor itu tampak kempes. “Ck..Ck…Pasti kena paku,” keluh Ayah. “Ayo, cari tukang tambal ban!” kata Ayah.

Ayah menuntun sepeda motor itu. Brian mengikutinya di belakang. Dalam hati, Brian menyesal ikut Ayah pergi ke pasar. Kini perasaannya kian tertekan oleh panas jalanan. Haus dan lapar kian terasa.

Brian melihat Ayahnya yang mulai bersimbah peluh menuntun sepeda motor. Tentu sangat berat bagi Ayah. Menuntun sepeda motor yang berat itu di terik matahari di saat berpuasa seperti ini. Hati Brian tergerak membantu Ayahnya. Dia mulai ikut mendorong sepeda motor itu agar tugas Ayahnya menjadi lebih ringan.

Setelah berjalan hampir sepuluh menit, mereka menemukan seorang tukang tambal ban pinggir jalan. Ayah menyerahkan sepeda motor itu pada Pak Tua tukang tambal ban untuk ditambal. Dengan tekun, Pak Tua mengerjakan menambal ban belakang yang bocor itu.

“Bapak berpuasa?” tanya Ayah kepada Pak Tua. “Alhamdulillah, saya berpuasa,” jawab Pak Tua.

Tiba-tiba, Brian merasa kagum dengan Pak Tua itu. Di tengah lapar dan hausnya di panas jalanan, Pak Tua dengan tabah menjalankan pekerjaannya.

Ban selesai ditambal dan dipompa, sepeda motor kembali dapat dijalankan. Tiba-tiba, Brian berkata kepada Ayahnya. “Yah, sekarang Brian tahu manfaat berpuasa bagi kita,” katanya pada Ayahnya. “Apa itu?” tanya Ayah. “Kita dapat berlatih kesabaran dan keteguhan hati,” ucap Brian. Ayahnya tersenyum bangga kepada Brian.

You may also like
Latest Posts from Majalahjustforkids.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *