Pagi itu, Cica si cacing tanah membuka jendela rumahnya lebar-lebar. Udara begitu segar di sekelilingnya. Matanya menatap langit. Dari sela-sela ranting dan daun, tampak sinar Matahari berkilau. Cica tersenyum lebar, lalu bergegas merayap keluar rumah. Ia sangat gembira saat melihat daun-daun kering dan kelopak-kelopak putik mangga mengotori halaman rumahnya. Semua itu akan menjadi humus dan membuat rumah Cica menjadi subur. Itu berarti, ia akan punya banyak cadangan makanan.
Suatu hari, Cica merasa sangat jengkel. Matanya tak lepas menatap barisan Semut Hitam yang berjalan di batang Pohon Mangga. Cepat-cepat ia masuk ke dalam rumahnya. Pohon Mangga yang memperhatikannya pun bertanya, “Ada apa, Cica?”
“Lihatlah! Aku tak suka melihat mereka merayap di batangmu!” teriak Cica. “Sejak kau berbuah lebat, mereka semakin banyak pindah ke sini. Aku jadi terganggu!” kata Cica.
Pohon Mangga tersenyum. “Tak apa, Cica. Mereka juga mencari makanan di pohonku. Biarkan saja. Aku sangat senang karena bisa membantu makhluk lain. Lihatlah! Ratu lebah juga sedang membangun istana di ujung rantingku,” kata Pohon Mangga.
Cica cemberut. “Uft! Apa kau tidak lihat? Semut-semut itu sangat banyak. Aku tak suka!” teriak Cica. Cica lalu masuk ke dalam rumahnya dan membanting pintu. Pohon Mangga menggeleng-geleng melihatnya.
Keesokan paginya, Matahari tak melihat Cica membuka jendela rumahnya. Pohon Mangga kebingungan mencari Cica. Pintu rumahnya tertutup rapat. “Apakah Cica telah pindah dan meninggalkan kita?” tanya Pohon Mangga pada Matahari. Matahari menggeleng tak tahu. Sayup-sayup, Pohon Mangga mendengar suara keributan. Ternyata, di dekat sebuah batu besar, Cica sedang bertengkar dengan sekelompok Semut Hitam. “Apa yang terjadi dengan mereka?” bisik Pohon Mangga kepada Matahari.
“Jika dalam perlombaan ini aku yang menang, aku ingin kalian semua pergi dari tempat ini. Tapi jika aku kalah, aku yang akan pergi dari rumahku. Kalian boleh mengambil rumahku!” suara Cica terdengar lantang.
“Apa kau yakin bisa menang?” tanya salah seekor semut jantan bernama Jantam. Ia tampak ragu. “Tentu saja. Kau pikir aku mau menyerah?” bentak Cica galak.
“Bukan begitu, Cica. Kami sebenarnya tak ingin berlomba. Kenapa kau harus marah kami membangun rumah di sini? Kami, kan tidak mengganggumu. Pohon Mangga saja mengijinkan kami tinggal di sini,” ujar Jantam sabar.
“Pokoknya, aku tak suka pada kalian! Ayo, kita mulai perlombaan ini. Siapa yang cepat mengelilingi pohon ini, dialah pemenangnya,” kata Cica. “Baiklah. Kalau itu yang kau inginkan,” kata Jantam menerima tantangan Cica. Perlombaan pun dimulai.
Barisan Semut Hitam menyaksikan dengan tegang. Awalnya, Cica berada pada posisi pertama. Namun, menjelang siang, Matahari mulai tinggi dan sinarnya menyengat kulit Cica. Cica mulai kepanasan. Jantam semakin jauh meninggalkannya. Barisan Semut Hitam bersorak gembira. Sementara Cica semakin lemas. Akhirnya, Jantam sampai duluan dan memenangkan pertandingan. Cica tertinggal jauh di belakang. Ia kini bahkan tak bisa bergerak lagi. Sinar Matahari hampir membakar kulitnya.
“Ada apa dengan Cica?” seru pasukan Semut Hitam panik. Mereka berlari menghampiri Cica dengan cemas.
“Oh! Tamatlah riwayat Cica!” teriak Matahari saat melihat pasukan semut menggotong Cica beramai-ramai. Mereka membawanya masuk ke dalam rumah Cica.
“Apakah semut-semut itu akan menyakiti Cica?” tanya Matahari cemas.
“Aku tak tahu,” jawab Pohon Mangga.
Esok paginya, jendela rumah Cica terbuka lebar. Matahari mengintip dari celah daun mangga. Cica tak tampak. Namun, sayup-sayup terdengar bunyi gendang dan nyanyian di bawah Pohon Mangga.
“Selamat pagi, Pohon Mangga! Selamat pagi, Matahari!” sapa Cica dan barisan semut. Kening Matahari berkerut. Cica tersenyum geli. “Perkenalkan, mereka sahabat-sahabat baruku!” kata Cica pada Pohon Mangga.
“Kau baik-baik saja, Cica?” tanya Matahari tak percaya.
“Ya, Matahari. Aku menyesal telah memusuhi mereka dan melarang tinggal di Pohon Mangga. Aku terlalu memikirkan diriku sendiri. Aku baru mengerti, ternyata kita hidup saling membutuhkan. Mereka kemarin telah menyelamatkanku dari terik sinarmu,” jelas Cica.
Matahari manggut-manggut baru mengerti. Ternyata Cica tak tahan pada sinarnya yang terik di siang hari. Cica dan barisan Semut Hitam kembali bernyanyi dan menari bersama. Pohon Mangga dan Matahari tersenyum lega dan ikut bernyanyi bersama mereka. Semuanya bergembira! (Teks: Just For Kids/ Ilustrasi: Fika)